Sabtu, 26 Desember 2009

Di antara Stasiun Kesadaran dan Rel Penindasan

Oleh : Khafi - didaktika


Sejak abad modern digongkan. kereta, rel dan stasiun ialah saksi dari bermacam bentuk penaklukan, pemaksaan dan ketertindasan orang-orang kecil.


Sore itu terasa dingin. Jalan menuju stasiun cukup jauh, cipratan gerimis membuat liat langkah kaki, perut kembali minta amunisi. Syukur, akhirnya pintu stasiun terlihat, sambil melintasi rel, saya harus waspada. Tengok ke belakang harus seseringkali dilakukan, takut tiba-tiba ada kereta yang melintas. Maklum, bukan jalur resmi.
Sampai di pintu masuk stasiun, sesigap mungkin saya melompati anak tangga, agar menghindar petugas pemeriksa karcis. Lolos. Selekas saya mencari makanan, teh manis dan rokok. Untuk semua itu tidaklah sulit, banyak lapak berbaris yang isinya pedagang buah, barang-barang bekas, VCD bajakan. Yang dicari pun gampang, pedagang makanan. Situasi saat itu agaknya akurat, memesan segelas teh manis sekaligus mencicipi dua buah gorengan dan satu kue donat, gratis tempat duduk. Sedangkan yang lain belum tentu duduk khidmat menunggu kedatangan kereta. Pasalnya, di stasiun telah berjubel manusia, sembari berdiri saling merapat, mereka kadang kala mengumpat keterlambatan jadual kereta. Bangku tunggu sudah penuh. Dari Depok Lama sampai Citayam tak ada sinyal pengaman, alasan petugas, kereta jadi bertumpukan, macet dan telat. Sudah lazim. Bagi pedagang, ini adalah berkah. Banyak orang di stasiun, berarti peluang dagangan habis kian terbuka.


Diskusi ala warkop dimulai, amat merakyat. Kepulan asap rokok setelah ditarik keluar dari paru-paru, kini tengah menemani dingin dan kesuraman langit. Mereka, diam-diam menguping, tatkala si pedagang bercengkrama asik dengan seorang bapak yang dari logat bahasa, Ia pastinya lama bermukim di Jakarta bagian pusat, mewakili Benyamin. S bukan Bokir. Dari isi obrolan serius hingga gurauan dan balik lagi ke serius, diskusi itu semakin menarik. Tak berpola, juga tak memiliki bahasa kode seperti rekaman-rekaman yang diputar KPK. Semua gamblang dan polos, walau sesekali coba saling menggurui. Menyaksikannya, jadi teringat pendapat Jurgen Habermas mengenai komunikasi ideal. Sebuah interaksi sosial demi satu konsensus yang dijalankan atas pengakuan derajat dan hak yang sama. Mungkin, ini bentuk yang diinginkan. Hubungan ekonomi terlupakan, strata sosial terhapuskan, saling peduli dan mengisi menjadi silaturahmi, Konsesnsus pun tercapai. Jika dicatatkan, sebagaimana seorang notulen, dengan keadaan sekarang, baik yang menimpa si pedagang maupun si konsumen tadi, semestinya para pejabat negara, institusi negara bahkan hukum negara layak bertanggungjawab. Bermula dari perkataan si pedagang, “Sekarang dagang aja susah, di stasiun sudah bayar pungli, itupun gak jaminan bakal terhindar dari penertiban”. Memang, sambut si konsumen, sekarang jadi serba salah buat orang kecil. “Kalau dipikir, kan lebih baik berdagang, hasilnya halal,” gerutu si konsumen lagi. Pemerintah, seakan dua pihak itu menyetujui, belum bisa melihat bahwa kesempatan kerja kian kecil, pengangguran membludak, lebih baik berdagang ketimbang berbuat kriminal. Padahal menurut si pedagang tadi, dari berdagang ia mampu membangun rumah dan membiayai hidup seorang istri dan tiga orang anak plus satu mertua walaupun dengan hidup pas-pasan. Si bapak konsumen lantas meneguk segelas kopi miliknya dan mengelengkan kepala sambil berkata, percuma pejabat masa kampanye dulu hanya banyak berjanji. “Tapi setelah jabatan diraih, mana buktinya?” tanyanya yang entah kepada siapa, hanya saya dan si pedagang yang ada di sana. Tanpa arahan dan kepentingan siapapun, ia membuka cerita lainnya. Kali ini, persis yang sudah-sudah, berisi gugatan. Dengan senyum kekecewaan, ia mulai membedah keberpihakan politik, ke mana larinya koruptor kakap, bila orang kecil dikejar dan dibui akibat berdagang dan mencuri seharga perut. Katanya, 6,7 Triliun dana Bank Century merupakan bukti, pemerintah tidak berpihak, perubahan harus terjadi.


Dua jam berselang, setelah mendongkol kereta pun datang. Saya bergegas membayar agar masih keburu waktu mengejar pintu masuk kereta, karena sudah aturannya, siapa cepat dia dapat. teh manis yang saya teguk sampai dasar tak bersisa, berprinsip serupa dengan diskusi si pedagang dan si bapak konsumen, tak meninggalkan jejak lagi. Rel yang membentang, panjangnya menjauhkan saya, tiap stasiun adalah persinggahan, tempat keluh kesah bertemu, rasa senasib bersatu. Sedangkan rel merupakan ajang berseteru, di manapun sejak kapan pun. Beda jalur, beda kepentingan. Rel dibangun dari air mata dan darah (misal kerja paksa), yang dipinggirnya terdapat banyak orang-orang yang tersisihkan. Di dalam kereta saya tetap berpikir, seiring nasib sebagai orang kecil yang kerap terbuang dan disisihkan. Belakangan ini masyarakat mudah menemukan kekecewaan terhadap pemerintah. Misal, kasus Century. Senada dengan kesibukan para elit politik di Senayan dan mahasiswa. Namun, di stasiun mana para wakil rakyat dapat bertemu dengan rakyat kecil. Setidaknya, mereka yang berambisi menyelidiki Century Gate. Atau, mereka yang sewaktu masa pemilu dulu rajin berjanji tentang perbaikan nasib rakyat kecil, yang waktu itu ke pasar-pasar tradisional, yang kala kampanye datang ke Bantar Gebang. Antara orang kecil dengan orang besar memang lain jurusan, yang satunya bersimbah derita dan meruahkan keluh kesah di stasiun, orang besar acapkali tak peduli. Ibarat kereta, mereka naik kelas eksekutif, rel sebatas tempat melintas serta sepintas melihat kanan-kiri seperti sedang bertamasya.


Meski Pansus (panitia khusus di DPR) sudah dibentuk guna menteror kasus Bank Century terbentuk, seringkali Pansus tinggalah nama, tanpa hasil apalagi efek bagi rakyat kecil. Di tahun ’98 saja, Soeharto dengan isu kerugian negara sekalipun diturunkan dari kursi kekuasaan, nasib rakyat kecil tak pernah membaik. Korupsi tiap hari semakin menjadi-jadi, pengangguran membengkak, pedagang kecil kerap digusur.

Akhirnya, tujuan stasiun yang ingin saya tuju sampai. saya pun bergegas turun, seketika semua kesadaran yang tadi kini berganti. Di stasiun ini, tak lagi ada si pedagang dan si konsumen yang asik mengobrol, suasana amat sepi, penumpang yang baru saja turun dari kereta seakan berlari menuju pembebasan, dingin dan bingung. Saya memahami, stasiun selain tempat kesadaran terbentuk, tak selamanya guyub, kadang kala merupakan tempat di mana masyarakat terlihat cair, tempat homo homini lupus beraksi.

Selasa, 22 Desember 2009

Ankringan Otak Sehat

Oleh : Hendro Ramandani

(Dewan Presidium, Forum Pers Mahasiswa Jakarta)


Hukum tubuh Negara. Namun jika fungsi hukum nihil adanya. Kuasa Rakyat hanya ambiguitas belaka.


Banyak yang bilang jika eksistensi hukum di Indonesia memang harus tetap ada dan dipertahankan. Kekuatan hukum artinya kekuatan massa rakyat yang harus di prioritaskan. Hak-hak rakyat pula yang harus dijadikan prinsip oleh segenap manusia yang taat dengan hukum. Artinya, hukum yang didasari dengan konstitusi dasar menjadi hal yang harus diperjuangkan dan bukan sebatas perjuangan hukum untuk sebatas kepentingan golongan terlebih kepentingan elit politis.


Melihat konteks hari ini yang sedang terjadinya euforia penegakkan hukum terkait dengan korupsi. Banyak masyarakat yang tidak mengerti mengapa korupsi di Indonesia semakin merajai setiap instansi. Mulai dari instansi pemerintah maupun lembaga pendidikan semua terjebak dalam ruang oportunis personal atau lembaganya. Sehingga memungkinkan masyarakat terjerumus dalam lembah kemiskinan structural yaitu Suatu kemiskinan yang tak akan pernah hilang dalam satu dasa warsa di bumi Indonesia.


Menariknya lagi, hukum Indonesia tak dapat berbuat banyak di tengah jeritan masyarakat arus bawah. Hukum di Indonesia hanya menjadi korban dari gaya dominasi ideologi global saat ini. Hukum di Indonesia sebatas hiasan dinding jika dilihat dari eksistensinya. Bagaimana tidak, kekuatan konstitusi telah di deregulisasi, privatisasi dan liberalisasi oleh kepentingan politik global. Sebut saja, penyelewengan terhadap UUD 1945 pasal 31 yang terkait dengan pendidikan untuk rakyat bukan untuk masyarakat kelas ekonomi atas. Yaitu dengan diberlakukannya UU Badan Hukum Pendidikan (BHP), sedangkan dalam realisasinya BHP akan ditemani oleh PK-BLU terlebih dahulu. Pertanyaannya, dapatkah menegakkan hukum diatas penolakan BLU di kampus?


Kembali lagi ke problema hukum Indonesia yang tak pernah jelas fungsinya. Seperti terkait dengan kasus Bank Century atau korupsinya pejabat-pejabat di instansi pemerintah. Sehingga kasus ini merebak seluruh Indonesia. Anehnya, pada kasus ini hanya membahas anggaran Negara yang amblas sejumlah 6,7 triliun. Tapi tidak membahas bagaimana sistem Indonesia yang menyebabkan APBN negara selalu dapat di korupsi oleh sebagian manusia oportunis.


Sejenak kita romantisme historisria. Korupsi di Indonesia telah merebak kala Imprealisme VOC masuk ke tanah Indonesia. Sedangkan ketika itu, pers Belanda yang menamakan dirinya sebaga “Java Courrant” berhasil menginvestigasi korupsi dalam tubuh VOC. Sehingga masyarakat Indonesia mempunyai kegelisahan dan lahirlah sebuah gagasan pembebasan nasional. Sedangkan untuk redaksi pelaksana media “Java Courrant” langsung ditangkap oleh pemerintah Belanda karena telah mengganggu stabilitas keamana di negeri jajahan.


Dengan hadirnya “Java Courrant” di Indonesia maka meretaslah anak bangsa yang mencoba untuk mendobrak hukum ala kolonial. Sebut saja Marco Kartodikromo yang menerbitkan “Reis Kraton” pada tahun 1914. Yaitu suatu media yang mengkritik korupsi di Kraton Solo. Dengan terbitnya media tersebut lahir pula kekuatan massa rakyat untuk menghapus segala feodalisme dalam kraton.


Jika melihat historis diatas berarti merebaknya korupsi di Indonesia telah ada sekian lamanya. Sedangkan bagi Marco yang hidup dalam masa itu, media anti korupsi yang sengaja didengungkan bukan bertujuan untuk menjadikan Negara ini merdeka tetapi hanya untuk menyulut gemuruh massa mendobrak sistem kolonial yang jelas merugikan rakyat Indonesia.


Maka tak ayal jika pada tahun 1925, Datuk Ibrahim-Tan Malaka- membumikan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berhasil direalisasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Jika melihat garis sejarah diatas berarti korupsi dapat dihilangkan jika masyarakat Indonesia dapat mendobrak sistem bukan penaklukkan rezim. Bukankah reformasi ‘98 adalah sebuah pelajaran berharga bagi kaum pergerakan. Sedangkan dalam implementasinya kaum pergerakan masih buta atau asing terhadap perubahan konsep hukum di Indonesia. Inilah yang biasa disebut “Taklidul a’maa (pergerakan atau massa reaksioner).


Sekali lagi, massa reaksioner inilah yang akan mengorbankan masyarakat. Sedangkan isu korupsi yang beredar hari ini merupakan settingan global yang menutup semua isu kerakyatan lainnya. Sadarkah kita?


Hukum Sehat, Rakyat Kuasa

Hal inilah yang seharusnya menjadi otokritik bagi kaum pergerakan hari ini. Jika paradigma masyarakat terkonstruksi bahwa korupsi menjadi satu hal yang menyebabkan kemiskinan struktural. Bagi penulis, kemiskinan struktural terjadi ketika sistem suatu Negara hukum telah kabur dari esensi kepentingan rakyat banyak.


Sejenak kita meraba isu kerakyatan hari ini seperti perampasan lahan petani di Pati Sukolilo, Takalar (Sulawesi), Sumsel, Cirebon dan tanah Kalimantan yang akan di jual oleh investor Jepang untuk penanaman Bakau (dibawahnya terdapat SDA batubara). Artinya hari ini Indonesia akan dijual dengan nominal yang lebih dari 6,7 triliun bahkan bisa mencapai ratusan triliun.


Belum lagi keputusan APEC pada putaran DOHA yang menikam benar hukum Indonesia sebagai Negara agraris. Yang jelas keuntungan dari putaran DOHA yaitu meliberalisasi sector pertanian, perdagangan yang lebih luas dan mematikan petani-petani lokal.


Melihat realitas diatas, secara sosiologis masyarakat belum dapat berkuasa atas haknya. Karena kekuatan hukum tidak sebagai representasi masyarakat banyak. Secara tidak langsung, melalui perspektif yuridis atau sosiologis masyarakat masih dirugikan dengan kekuatan hukum hari ini. Sebab, kekuatan hukum yang diciptakan untuk melindungi masyarakat berubah menjadi penjara bagi masyarakat sendiri.

Hal diatas nyata adanya. Hukum di Indonesia terdeteksi banyak penyakit sehingga sampai hari ini rakyat masih menjadi tamu di negerinya sendiri. Pada dasarnya hanya kekuatan rakyat secara kolektif dan bukan kepentingan dominasi ideologi global atau kepentingan golongan yang dapat mematikan segala virus dalam tubuh hukum Indonesia. Jika memang demikian, maka bukan hal yang utopis untuk mencapai hukum sehat rakyat berdaulat.

Minggu, 20 Desember 2009

Esensi letak Keadaan dari Sebuah Keadilan

Oleh : Jessica Suryadjaja, Untar

“Dimanakah letak keadilan itu?” Tanya seorang teman kepada saya. Dia marah dan memaki ketika mengetahui bahwa seorang jaksa yang menjual narkoba (hanya) dihukum 6 bulan penjara. Oleh hakim, Sang jaksa dianggap memiliki “jasa” kepada masyarakat sehingga berhak untuk mendapatkan keringanan hukuman.

“Jasa apa? Jasa menjual narkoba?” Umpatnya marah.

Dia memaki lagi ketika membicarakan seorang nenek yang awalnya dituntut hukuman 6 bulan karena memetik buah kakao. “Apa itu pantas?”

Saya hanya bisa tertawa mendengar makian-makiannya.Teman saya hanyalah seorang biasa, orang biasa yang ada disekitar kita. Kaum masyarakat kebanyakan. Kaum awam yang tidak tahu (atau pura-pura tidak tahu) tentang keadaan moral bangsa sendiri.

Naif atau munafik?

Kita tidak akan membicarakan kepantasan dan saya tidak mau membicarakan tentang keadilan. Saya hanya akan membicarakan tentang keadaan. Meski senior yang menyuruh saya membuat artikel ini meminta saya membahas tentang keadilan, tetapi saya akan tetap membahas tentang keadaan. Karena keadaan bersifat fakta dan pasti, sedangkan keadilan bersifat subjektif. Mungkin artikel ini tidak akan dimuat karena keluar dari presepsi awal, entahlah, saya tetap akan membuat artikel ini.

Awalnya kita harus bertanya pada diri sendiri. Masih adakah orang yang benar-benar bersih di Indonesia sekarang ini? Jikalaupun ada, maka orang tersebut pasti bukanlah siapa-siapa. Sebab untuk menjadi seseorang yang dikenal kau harus mau menjadi kotor. Bahkan saya yakin, siapapun anda, yang sedang tersenyum sinis membaca tulisan saya ini, tidak mungkin tidak pernah mongotori tangan anda. Entah dengan menyontek atau memberikan uang lebih (sogokan) agar ijin mengemudi anda keluar.

Tentu saja saya tidak akan membahas tentang kemunafikan anda. Lagipula siapa saya hingga berhak menghakimi anda? Saya bukan siapa-siapa. Saya sama seperti anda.

Ketika saya menonton televisi dipagi hari, kasus korupsi muncul menghiasi pagi. Tidak tanggung-tanggung, bahkan orang nomer satu di Indonesia turun tangan langsung membela “tertuduh” korupsi.

Yah Korupsi. Saya sangat akrab dengan kata itu, begitu pula dengan anda. Dari jaman Belanda sampai sekarang, Indonesia tidak pernah lepas dari korupsi. Mulai dari upeti kecil-kecilan ketika jaman Belanda, BLBI, sampai yang sekarang sedang hot; Bank Century. Yang satu belum selesai sudah muncul ribuan kasus baru. Ibarat menebang pohon pisang. Yang satu ditebang muncul puluhan tunas baru.

Kenapa kita sebagai orang Indonesia tidak menerima nasib saja? Terima sajalah korupsi yang sudah menjadi budaya ini. Kalau perlu kita patenkan saja Korupsi sebagai salah satu budaya bangsa yang harus dilestarikan. Kita jadikan Hari anti-Korupsi Sedunia sebagai “Peringatan Hari Korupsi” serta jangan lupa kita rayakan sebagai hari libur nasional!

Semangat Juang Mahasiswa

Oleh : aDiTya - Media Publica

" kalau rakyat Indonesia terlalu melarat, maka secara natural mereka akan bergerak sendiri. Dan kalau ini terjadi maka akan terjadi chaos. Lebih baik mahasiswa yang bergerak, maka lahirlah seorang demonstran ". Inilah pernyataan yang keluar dari aktifis besar yang dipunyai leh Universitas Indonesia (UI) Soe Hok Gie (alm), mungkin kalau kita mengartikan pernyataan tersebut dengan pendidikan dan asupan materi yang telah di dapat oleh mahasiswa melalui pembelajaran di kampus ataupun karena sering mengikuti diskusi umum serta aktif di dalam kelembagaan kampus sangatlah pantas jika mahasiswa yang mewakili rakyat untuk melakukan aksi turun ke jalan. Dengan naluri kritisnya mahasiswa dapat membaca situasi yang sedang terjadi, bukan hanya itu mahasiswapun dengan pendidikannya yang di dapat mampu meneliti suatu kasus yang memang pantas untuk "digonggong".

Walaupun teriknya matahari menyengat kulit, mahasiswa sebagai minoritas di Negeri ini tidaklah patah semangat. Merekapun sepakat menyatakan "satu" walaupun warna-warni almamater menghiasi kerumunan demonstran. Nyanyian mereka yang menyentil pemerintah ataupun berhiasi seruan bahwa mahasiswa dan rakyat bersatu tak akan bisa di kalahkan menelingi kerasnya suara ketika mereka berorasi. Pada saat ini Negara Indonesia banyak di kerumuni oleh masalah yang tidak kunjung di temukan jalan keluarnya oleh pemerintah, salah satunya adalah kasus Bank Century. Disinilah mahasiswa yang pro terhadap kerakyatan menggonggong dengan keras, mereka berpendapat bahwa salah satu instansi pemerintah ada yang terlibat skandal ini. Mereka menilai pemerintah mengulur waktu untuk menyelasaikan masalah ini.

Tepatnya pada hari Rabu 9 desember 2009 yang bertepatan pada hari korupsi Se-dunia lalu, para mahasiswa melakukan demonstransi mengenai kasus ini. Walaupun terbagi beberapa tempat di Ibu Kota Jakarta, akan tetapi mereka mempunyai satu suara, yaitu pemerintah tidak segan untuk menyelesaikan kasus ini yang kian berlarut-larut. Demikian dengan tujuan mereka, mereka mempunyai satu tujuan yang sama yaitu menegakkan kadilan di Negeri ini bahwa yang salah haruslah di tindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Tidak pandang siapa mereka yang terlibat, baik perseorangan atau kelompok baik di pemerintahan atau di pihak swasta.


OLEH :

RahmaLPM Adigama Untar


Kekhawatiran SBY mengenai adanya gerakan yang dapat menggulingkan dirinya dari kursi kepresidenan nyatanya tidak terjawab. Hari Anti Korupsi Sedunia yang diperingati pada 9 Desember 2009 kemarin dengan mengelar long mach dan orasi di beberapa titik di Jakarta (dan sebagian daerah) oleh sejumlah kalangan diantaranya ; Mahasiswa, tokoh agama dan aktivis aliansi masyarakat ternyata tidak berlangsung heboh seperti yang diberitakan oleh media. Aksi turun kejalan ini sebelumnya memang sempat mengusik ketentraman hati SBY sampai beliau sempat mengeluarkan statement bahwa aksi tersebut bisa saja disusupipenumpang gelap” yang memiliki motif lain, selain mengkampayekan gerakan anti korupsi. Pernyataan tersebut kontan saja merebakan issu hangat di masyarakat hingga menimbulkan kecemasan bahwa akan terjadi hal serupa seperti yang pernah terjadi pada tahun 1998.


Harus diakui, menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang terbebas dari korupsi bukanlah hanya keinginan dari segelintir orang yang menyebut dirinya sebagaiaktivissaja. Semua rakyat Indonesia juga pasti menginginkan hal yang sama. Tapi, apa harus dilakukan dengan cara-cara yang dapat menimbulkan kerugian bagi orang lain? Demo besar-besaran di jalan hingga menimbulkan kemacetan atau tindak prilaku anarkis yang berujung pada pengerusakan hanyalah sedikit cerminan nyata dari moral rakyat bangsa ini sebenarnya. Lalu, apa bedanya kita dengan para koruptor yang “hobby”nya merugikan orang lain demi kepuasan dirinya sendiri? Sebagai rakyat kita hanya bisa menuntut hak-hak kita kepada pemerintah tapi, mengabaikan kewajiban kita sendiri sebagai warga negara yang baik.


Disini penulis hanya ingin merefleksikan bagaimana cara rakyat di bangsa ini memperingati hari anti korupsi dan pencapaian apa yang sudah didapat dari gelar aksi kemarin? Adakah perubahan substansi system hukum kearah yang lebih baik? Atau apakah gelar aksi kemarin telah mengetuk pintu hati para koruptor sehingga sadar dan mengakui perbuatan yang telah dilakukannya?


Sebenarnya tidak salah jika sebagian orang ingin melakukan gerakan melawan korupsi tapi jangan hanya sebatas seremonial belaka agar gerakan yang dilakukan tidaklah mubazir percuma. Semisal kenapa perayaan hari anti korupsi sedunia kemarin tidak dijadikan momentum khusus untuk bersama-sama (read : rakyat) mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Makhamah Konstitusi terhadap Undang-undang yang dirasa dapat mengkerdilkan, mengkebiri dan membatasi ruang gerak KPK sebagai lembaga yang berfungsi untuk membrantas tindak pidana korupsi contohnya seperti : UU Pengadilan Tipikor dan UU Rahasia Negara yang belum lama ini di sahkan.


Jadi
, Temanya tetap samaPerayaan Hari Anti Korupsi Sedunia”, gerakannya juga sama yaitu aksi dan orasi melawan korupsi hanya saja yang membedakannya adalah hasilnya. Semoga lebih bisa dirasa manfaatnya oleh seluruh rakyat Indonesia.

Minggu, 29 November 2009

Hasta La Victoria Siempre

Serangkaian isu Cicak VS buaya kian ramai dibincangkan. Tanpa makna tanpa analisa sosial lebih dalam. Sehingga masyarakat terjebak dalam agenda besar global. Pertaruhan kekuasaan semakn terlihat jelas antara bendera parpol yang tersisihkan dalam pemilu 2009. Anehnya gerakan mahasiswa lagi-lagi terjebak dalam situasi seperti ini.

Kalut. Itulah bayangan gerakan mahasiswa hari ini. Aksi tanpa mengerti apa yang diperjuangkan. Aksi hanya menjadi sebuah keniscayaan atas kekuasaan rezim hari ini. Aksi hanya menjadi budaya pergerakan reaksioner tanpa melihat apa yang terkonsep atas nama Indonesia raya.

Sekali lagi, mereka yang rindu akan gerakan 98 adalah mereka yang tak belajar dari sejarah. Sejarah gerakan 98 membuktikan bahwa dalam perjalanannya tak dapat merubah kondisi Indonesia hari ini dari segi politik, ekonomi, budaya dan hukum. Semuanya sama saja tak ada perubahan atau gagasan lain didalamnya.

Jika memang demikian, bagaimana dengan kenyataan hari ini atas settingan terbesar atas isu cicak VS buaya terkait korupsi dan ketidakadilan. Yang ternyata isu tersebut dapat berkembang kepada obsesi penaklukan rezim hari ini.

Isu korupsi bukan masalah subtantif tentang merebaknya kemiskinan di Indonesia. Namun, isu ini hanya rekayasa media untuk menutup isu-isu kerakyatan lainnya. Sepeti halnya isu keputusan APEC, atau penggarapan lahan petani oleh pihak pemerintah secara paksa. Atau lebihnya di daerah Kalimantan yang akan terdapat penghijauan kembali dengan menanam bakau didaerah pesisir pantai yang didalamnya banyak batu bara yang dilakukan oleh investor dari Jepang.

Hal diatas dapat menjadi pembuktian bahwa beberapa tahun lagi tanah penghijauan di Kalimantan pun dimiliki oleh Jepang. Lalu bagaimana dengan keberadaan batu bara tersebut?jelas itu pun akan dimiliki oleh Jepang. Dengan demikian, tanah air ini akan menjadi milik asing bukan kita sebagai pewaris tunggal bangsa ini. Inilah yang menyebabkan kemiskinan struktural.

Dengan melihat konteks diatas. Maka pada hari selasa akan diadakan diskusi dan dihadiri oleh kampus-kampus se-Jakarta tentang “Hukum sehat rakyat berdaulat, Telaah kritis cicak VS buaya” di kampus UNJ gedung K, FIS (Fakultas Ilmu Sosial). Isu yang tak lagi sehat untuk rakyat harus dilawan dengan akal yang sehat. Selamat menikmatinya

EKSISTENSIALIS

Hidup manusia berbeda dari benda mati yang tidak bisa keluar dari cetakannya. Karena itu manusia memiliki kebebasan mutlak dalam menjalani kehidupan di dunia.

Pagi ini serasa bersahaja sekali. Dengan menghirup segelas kopi membaca berita di surat kabar, sekejap mata ini menangkap sebuah gambar hasil bidikan profesional dari sebuah media besar. Gambar seorang polisi yang sibuk memblokir jalan utama dikawasan jakarta pusat, jalan tersebut menuju ke arah senayan. Keterangan dibawah gambar tersebut membuat saya terperangah. “Akibat aksi demonstrasi polisi terpaksa blokir jalan.” Begitu keterangan dari gambar yang amat eye catching di rubrik metropolitan pagi ini.

Penulis kemudian tertarik untuk membaca keseluruhan dari artikel yang membahas persoalan demonstrasi tersebut. Ternyata isi dari protes yang dilakukan oleh ribuan orang itu adalah soal penegasan keberadaan mereka terhadap pemerintahan yang baru saja dibuat. Memang pada tanggal 20 oktober 2009 di senayan sedang digelar perhelatan akbar. Pelantikan presiden baru republik Indonesia periode 2009 – 2014, yang terpilih melalui Pemilihan umum bulan Juli 2009.

Pelantikan ini malah diawali oleh munculnya kemunculan aksi demonstrasi oleh kaum intelektual yang melabeli dirinya sebagai mahasiswa lewat almamater yang dikenakan. Kendati demikian kehadiran mereka yang serta merta menutup jalan sebagai fasilitas umum (ruang publik) menimbulkan pertanyaan besar.
Untuk apa? Dan siapa mereka? Mereka yang selalu berteriak menggunakan slogan membela dan memperjuangkan hak rakyat ternyata malah mempersulit akses rakyat sendiri terhadap jalan yang sudah menjadi hak mereka. Kehadiran mereka di jalan menunjukan eksistensi mereka di ruang publik.
Ruang publik merupakan ruang dimana pemegang kekuasaan dan yang dikuasai dapat menjalin komunikasi tanpa ada penekanan (dominasi) dari salah satu pihak. Jalan yang dalam konteks ini merupakan ruang publik dalam hal ini menjadi sebuah media yang dinilai efektif untuk berkomunikasi dengan penguasa.

Jurgen Habermas seorang filsuf Jerman yang terkenal dengan teori komunikasinya mengatakan bahwa kegagalan komunikasi antara penguasa dan rakyatnya adalah tidak adanya ruang publik untuk berkomunikasi antara mereka.

Dalam konteks berita di artikel, penulis mengambil relasinya dengan aksi demonstrasi di depan gedung senayan. Komunikasi dirasakan efektif bila berjalan dengan dua arah. Akan tetapi lewat aksi yang di gelar di tahun 2009 ini mereka tidak menuai umpan balik dari kabinet yang baru. Aksi tersebut menimbulkan kemacetan, dan kerugian bagi khalayak ramai pengguna jalan.

Sambiil menyeruput kopi yang kian dingin, saya terus menelisik artikel menarik ini. Teringat akan cerita para pemuda di bulan Oktober juga pada tahun 1928 mereka menunjukan eksistensinya sebagai satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air melalui sumpah pemuda.

Rasanya terlalu jauh bila saya menganalogikan demonstrasi pada tahun 1928 dengan demonstrasi pada tahun 2009. Pada abad ke 21 satu ini banyak perubahan terjadi. Demonstrasi pun bukan hanya milik kaum intelektual atau kelompok tertentu saja. Semua orang atau masa dapat dengan mudah melakukan aksi turun ke jalan. Yang ingin saya soroti dalam tulisan ini sebenarnya bagaimana eksistensi demonstrasi itu sendiri saat banyak dari rakyat yang turun kejalan, saat berbagai kelompok meneriakan berbagai ketidakadilan oleh negara.

Eksistensi atau Esensi
Hadirnya berbagai demonstrasi merupakan tolak ukur kegagalan dari pemerintah dalam mensejahterkan rakyatnya. Akan tetapi meningkatnya kuantitas dari aksi tersebut menimbulkan pertanyaan tersendiri. Apakah demonstrasi tersebut sebagai wujud eksistensi sah para pelakunya atau memang benar berujung pada esensi dasar dasar perwujudan perlawanan rakyat yang tertindas sesuai dengan konteks ketertindasannya masing-masing.

Kita kembali pada aksi demonstrasi para intelektual ber almamater (mahasiswa_red). Mereka yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa seluruh Indonesia itu mengamini bahwa pemerintahan yang akan berjalan harus memperhatikan kepentingan rakyatnya, sebagai konsekuensinya mereka mengajukan kontrak politik kepada presiden yang baru dilantik sebgai landasan untuk menurunkan kabinet seandainya mereka melanggar ketentuan tersebut.

Melihat dari tujuan diadakannya aksi tersebut, adalah suatu hal yang muskhil menjatuhkan presiden hanya dengan mengikat kontrak. Sebab presiden yang dipilih secara sah tersebut hanya bisa di jatuhkan dengan sidang isetimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat, atau dengan mengundurkan diri. Esensi dari demonstrasi tersebut patut dipertanyakan. Sekali lagi kecenderungan demonstrasi tersebut hanya sekedar eksistensi dari romantisisme mahasiswa.

Mahasiswa menjadi sekelompok manusia eksistensialis yang kebingungan akan esensinya dalam dunia, khususnya dalam negara. Tidak dapat dipungkiri, mahasiswa berada dalam cetakan pendidikan, dimana dunia mereka hidup sedang mengalami permasahan kompleks. Sartre seorang filosuf eksistensialisme sendiri percaya bahwa dari eksistensialisme akan melahirkan sebuah esensi.

Konsep esensi yang didambakan sartre ternyata tidak terjadi dalam diri mahasiswa pembuat demonstrasi tersebut, yang timbul malah konsepsi tentang manusia super atau pengakuan mereka sebagai golongan baru dalam masyarakat. Akhirnya mahasiswa dan demonstrasinya terjebak dalam absurditas. Absurditas yang nyata saat terjadinya banyak masalah di dalam institusi. Di mana tempat mereka mengada yaitu Universitas

Mahasiswa malah sibuk mencari dunia lain yang jauh dari jangkauannya yaitu dunia politik. Muaranya jelas menjadi politikus. Karena lebih menjanjikan daripada menjadi seorang pendidik yang akan mencerdaskan bangsa. Padahal sejarah telah mencatat beberapa nama aktivis mahasiswa yang dahulunya lantang berteriak di jalan sekarang malah terjerumus dalam lubang hitam kekuasaan.

Oleh : Haris Malikus - Didaktika

Forum Pers Mahasiswa Jakarta: Senandung Lirih Pendidikan

Forum Pers Mahasiswa Jakarta: Senandung Lirih Pendidikan

Senandung Lirih Pendidikan

Oleh : Hendro Ramadhani - Didaktika

Banyak yang bilang jika aku (baca:pendidikan) ini mahal. Banyak yang bilang jika aku ini candu. Banyak yang bilang jika aku ini yang melahirkan perbedaan kelas masyarakat. Banyak yang bilang jika aku ini lembaga makelar. Banyak yang bilang jika aku ini telah diperkosa dan dipasung oleh kuasa modal.

Aku tidak percaya akan kenyataan identitas diri hari ini. Aku tidak bersalah atas kenyataan dan aku tidak bersalah atas keadaan eksistensi di negeri ini. Aku hanya menjadi suatu hal yang terus dimanfaatkan oleh keberlangsungan liberalisas global. Aku menjadi korban pada periode ini.

Terkadang aku berpikir, masihkah pantas aku berada di negeri ini?jika memang keberadaan aku hanya menjadi alat para ambisi pemodal. Aku bingung, sedih, galau semakin menghantui setiap langkah ini. Jujur, aku tersentak dengan kenyataan hari ini. Sempat terbesit untuk mengembalikan aku lagi dalam kondisi yang seharusnya. Yaitu aku menjadi suatu yang dapat membawa peradaban manusia lebih baik. Peradaban dimana semua manusia Indonesia tak lagi canggung untuk melihat konteks kehidupan sosial kekinian.

Aku terhempas dan mungkin mulai kehilangan kendali. Aku terasuki iblis yang tak lagi peduli dengan manusia yang lain. Aku telah dikalahkan dengan keadaan yang membentuk manusia hari ini. Lembaga yang selalu menyandang status aku justru tak dapat berbuat banyak. Ya, lembaga itu justru merelakan apa yang telah terjadi pada diri aku. Karena memang, lembaga tersebut mendapatkan nilai lebih (baca:keuntungan) dengan menjual status aku.

Sejujurnya, aku kecewa terhadap lembaga tersebut. Siapapun itu, aku benci dia. Huh, mungkin terlalu cepat aku mengeluarkan pernyataan lirih dan pedih ini. Karena jika aku kalah dengan keadaan hari ini maka aku akan hilang di masa depan. Jika aku hilang esok artinya sejarah tentang aku takakan kembali. Bagi aku, terlalu mengerikan untuk dibayangkan tentang hilangnya aku. Aku mohon, jangan hilang.

Aku tak akan hilang walau segala rekayasa politik dimainkan utuk menghilangkan aku. Sejujurnya aku tak akan hilang tergerus zaman yang semakin terdengar gaungnya tentang "akhir dari kehidupan sosial". Karena aku masih yakin, masih ada beberapa manusia-minoritas-yang masih membicarakan aku di tempat2 ngopi, dibawah pohon cemara, ditepi sungai ciliwung.

Yang pasti aku tidak akan percaya jika aku dibicarakan dalam gedung parlemen atau pemerintahan. Aku terlalu banyak dikelabui disana. Oh, maaf ini bukan pernyataan subyektik tentang aku, ini kenyataan.

Aku hanya inginkatakan, jika aku masa lalu, hari ini dan masa depan tak akan pernah terkikis sedikit pun tentang identitas aku di muka bumi.

Tak terasa awan semakin gelap dan angin kencang telah menampar wajah ini. Aku terdampar, terkulai dalam keraguan atas kenyataan. Namun disela gemuruh yang semakin nakal. Aku yakin masih dapat bertahan dalam kenyataan. Karena badai yang terus menrus menimpa diri aku, pasti akan berlalu.


Sekali lagi, aku adalah pendidikan.......

Hari Sumpah Pemuda Bukan Hiasan Dinding Negara

Kami putra-putri Indonesia bertanah air satu tanah air Indonesia;
Kami putra putri Indonesia berbangsa satu bangsa Indonesia;
Kami putra putri Indonesia berbahasa satu bahasa Indonesia.
(Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928)

Derap semangat pemuda Indonesia tergambar begitu berkobar ketika menculik Soekarno dan Hatta pada peristiwa Rengasdengklok, mendesak keduanya untuk segera memproklamirkan kemerdekan Indonesia. Alasannya sederhana, mereka tak lagi dapat melihat pihak asing terus menggerogoti tanah Indonesia.

Seperti pidato Bung Karno pertama kali saat menggantikan Cokroaminoto dalam rapat, “Saudara, kita adalah bangsa yang kaya. Jika kita tancapkan kayu maka akan tumbuh menjadi makanan untuk kita, tetapi mengapa bangsa kita tetap kelaparan?”.

Itulah sebuah kisah pemuda Soekarno, semangat yang luar biasa saat membuka rapat ketika pra revolusi kemerdekaan 1945. Sebenarnya semangat pemuda Indonesia telah lahir kala tercetusnya sumpah pemuada pada tahun 1928. Komunitas-komunitas pemuda lokal telah banyak meyakini akan hadirnya sebuah bangsa tanpa penindasan. Keyakinan itulah yang pada akhirnya menentukan pemuda Indonesia dalam meretas perjuangan kemerdekaan. Walau sebenarnya pada tahun 1917 telah terdapat kumpulan pemuda Jawa yang mengatasnamakan “Tri Koro Darmo (Jong Java)”.

Menariknya, pemuda kala itu tidak terdeteksi dengan usia, pemuda lebih cendrung masyarakat Indonesia yang mempunyai semangat pembebasan nasional. Mereka yang dapat bersosialisasi dengan masyarakat, mereka yang dapat memberikan pendidikan gratis, mereka yang bersemangat membangun organisasi pembebasan nasional. Ya, itulah makna pemuda kala itu, dimana pemuda menjadi puncung senjata kekuatan rakyat.

Pertanyaannya, bagaimana dengan makna pemuda dalam sumpah pemuda era modernitas? Apakah pemuda tetap menjadi kumpulan masyrakat yang mempunyai semangat untuk meneruskan perjuangan untuk mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia seratus persen.

Saya pikir, seharusnya pemuda pada hari ini harus kembali kepada sejarah pemuda Indonesia itu sendiri. Karena tanpa mengetahui peta sejarah pemuda Indonesia , pemuda pada era ini akan bias dalam memaknai ruh pemuda dalam sumpah pemuda. Jika sejarah pernah bercerita tentang bergemanya isi dari Sumpah Pemuda yang penuh komitmen dan keyakinan jika Negara Indonesia harus tetap ada. Karena bagi pemuda kala itu tak ada jalan lagi selain tetap setia diatas tanah airnya.

Kesetian terhadap anah air memang menjadi suatu hal yang prinsipil. Suatu prinsip hanya dapat diukur dengan pikiran yang terkait dengan tindakkan. Dengan begitu, pemuda tanpa tindakkan hanya akan menjadi candu dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Apalagi dalam konteks kehidupan sosial hari ini yang telah jauh dari konsep keadilan. Dimana keadilan menjadi suatu hal yang bias dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia.

Jika dulu bangsa Indonesia bergelut dengan kolonialisme bangsa asing, hari ini bangsa Indonesia bergelut dengan kebijakan pemerintah bangsa sendiri. Sehingga tak salah jika kawan dari Yogya dalam kaosnya tertera sebuah kalimat “ Kaum kuli di negeri janji”. Segala permasalahan yang mengungkap Land Reform pun tak pernah selesai. Bahkan sampai masalah pendidikan, bangsa ini terus dijadikan pusat penerimaan buruh-buruh baru dalam wilayah Industri asing.

Kenyataan diatas merupakan masalah yang diidap bangsa Indonesia sampai saat ini. Mahasiswa yang bagian dari salah satu unsur pemuda terdidik ternyata masih jauh diharapkan. Sehingga mahasiswa hanya menjadi unsur kelas yang berbeda dengan pemuda tani atau pemuda buruh. Akibatnya, mahasiswa hanya dapat berteriak dibawah terik matahari tanpa ada dukungan dari masyarakat arus bawah.

Bagi saya, mahasiswa adalah pemuda yang beruntung mendapatkan pendidikan lebih tinggi. Dengan pendidikan, pemuda dapat terus menganalisa, bersikap dan bertindak terhadap apa yang diyakini jika itu merupakan sebuah kebenaran. Sedangkan kebenaran hanya dapat dirasakan ketika nihilnya kosep keadilan.

Artinya, tanggung jawab moral seorang pemuda merupakan menyelesaikan suatu kebenaran dan konsep keadilan yang masih abstrak. Sehingga pemuda menjadi basis kekuatan kembali dalam tatanan Negara Indonesia. Karena pada dasarnya, perjuangan pemuda adalah mendidik rakyat dengan apa yang mereka punya, apa yang mereka butuhkan dan apa yang mereka rasakan. Sehingga identitas masyarakat tercipta dengan sendirinya dan pemuda hanya menjadi pendukung atas lahirnya semangat kemerdekaan yang terbelenggu.

Sekali lagi, tulisan ini bukan menjadi angin simbol kala hari Sumpah Pemuda dikumandangkan. Tetapi tulisan ini hanya kisah klasik atas pemaknaan pemuda Indonesia yang terlupakan. Karena Sumpah Pemuda merupakan janji bagi pemuda-pemuda Indonesia masa lalu dan masa ini.

oleh : Hendro ramadhani - Didaktika UNJ

Selasa, 11 Agustus 2009

KEGIATAN FPMJ

KEBANGKITAN FPMJ

Diawali dengan Semangat Tanpa Batas

Oleh : Jesica Suwandjaja

LPM Adigama - UNTAR


Setelah sempat mengalami kevacuman regenerasi presidium selama satu tahun. Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ) memasok amunisinya untuk bangkit kembali memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan dunia jurnalistik.


Pada tanggal 18-20 Juni 2009, bertempat di Villa Mang Yana, Cisarua, Bogor. Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ) menggelar kembali Kongres FPMJ dengan tujuan untuk membentuk regenerasi kepengurusan baru dewan presidium priode mendatang. Setelah sempat mengalami kevakuman beberapa waktu lalu. Namun, seakan tidak ingin jatuh pada kesalahan yang sama. FPMJ kini mencoba bangkit, evaluasi untuk melakukan perubahan dan membangun prinsip konsistensi serta kebersamaan.

Bicara mengenai Persma (Pers Mahasiswa), FPMJ sendiri awalnya dibentuk untuk menggalang kekuatan pergerakan masyarakat untuk melawan pemerintah yang tidak transparan serta memberikan advokasi kepada masalah yang berkenaan dengan kebebasan pers baik dalam masyarakat maupun lingkup pers kampus.

Pers mahasiswa merupakan bagian dari pahlawan reformasi karena runtuhnya rezim Orba tidak lepas dari gerakan pers mahasiswa. “masa lalu Persma memang identik dengan pers alternative yang bernuansa pergerakan” kata Sugeng Sutrisna, Pimpinan Umum LPM Didaktika, UNJ.hal ini, menunjukan bahwa peran Persma lebih dari sekedar hobi dan jurnalistik. Persma merupakan sarana mahasiswa untuk belajar berani mengeluarkan pendapat dan menyampaikan aspirasi baik lisan maupun tulisan dengan cara yang sopan dan elegan. Untuk itulah kongres ini diadakan agar tunas-tunas Persma selalu berkembang untuk melakukan sebuah pergerakan.

Kongres ini digelas selama tiga hari, dua malam. Dengan penjadwalan agenda yang lumayan padat. Malam pada kongres hari pertama, agenda dijadwalkan untuk pembahasan evaluasi dari berakhirnya masa jabatan Muhamad Rifai (LPM Media Publica-Moestopo) sebagai Ketua Koor. Presidium FPMJ yang lalu. Selanjutnya, pada hari kedua dimulai sesudah sarapan pagi pada pukul 09.00 Wib. Agenda kali ini dijadwalkan untuk membahas mengenai pencitraan FPMJ, pengukuhan kembali visi, misi dan tujuan FPMJ. Serta dibahas pula mengenai AD/ART FPMJ. Pada pembahasan agenda kali ini berlangsung sangat alot serta sampai menguras pikiran, emosi dan tenaga. Setelah mengalami tiga kali pergantian pimpinan sidang. Akhirnya pembahasan mengenai AD/ ART ini berakhir pada 02.00 Wib dini hari, hal ini ditandai dengan diketuknya palu sidang tanda pengesahannya AD/ART untuk periode 2009-2010 oleh Akhwani Subkhi (LPM Institut – UIN) selaku Pimpinan Sidang tersebut.

Minggu, agenda terakhir dalam kongres ini adalah membentuk kepengurusan baru dewan presidium FPMJ dengan masing-masing 13 Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) dari tiap-tiap Universitas mencalonkan masing-masing kader terbaiknya. Setelah itu, pemilihan ketua koor. Presidium tersebut dilakukan dengan cara voting setelah masing-masing calon presidium menyampaikan presentasi mengenai akan dibawa kemana FPMJ nantinya kedepan.

Akhirnya, dengan mengibarkan tema “Semangat Tanpa Batas” kongres FPMJ kali ini berhasil melanjutkan regenerasinya ditandai dengan terpilihnya M. Wahyu Ariyanto (LPM Orientasi – Mercubuana) sebagai Ketua Koor. Presidium yang baru. Dengan hasil kongres terakhir menetapkan, bahwa program FPMJ kedepan akan lebih memfokuskan kepada tiga divisi saja yaitu : Divisi Advokasi yang akan berkerjasama dengan LBH terkait untuk melindungi hak kebebasan berpendapat masyarakat dan juga melindungi hak Persma dalam mengusung kebebasan pers di LPM kampusnya masing-masing; Divisi Kajian untuk meningkatkan kualitas daya kritis dan memperluas wawasan bagi masing-masing anggota FPMJ; Divisi Penerbitan untuk menghasilkan produk bulletin dwibulanan “SOLIDARITAS” dan juga majalah FPMJ yang merupakan hasil kerjasama gabungan dari tiap-tiap LPM se-Jakarta yang tergabung dalam keanggotaan FPMJ. Diharapkan dengan adanya koordinasi dari Nur Rachma (LPM Adigama –Untar) selaku Pemimpin Redaksi (PEMRED) terbitan “SOLIDARITAS” FPMJ ini dapat menjadi pengikat untuk membangun kebersamaan antar anggota FPMJ seiring dengan intensitas komunikasi yang baik.

Sebelum pulang, acara penutupan dari kongres FPMJ ini diakhiri dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Dara Juang serta dilanjutkan dengan foto-foto oleh seluruh anggota kongres untuk dokumentasi kenang-kenang.

AKTIFITAS FPMJ

Selamat Ulang Tahun LPDS Ke-21

Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) yang pada tahun 2008 lalu telah berganti nama menjadi Yayasan Pendidikan Multimedia Adinegoro (YPMA) ini adalah tempat pusat Pelatihan dan Pengembangan Jurnalisme Profesional, yang beralokasikan di Gedung Dewan Pers Lantai III Jl. Kebon Sirih No.34 Jakarta pusat.

LPDS, begitu lembaga ini lebih dikenal. Memang sudah lama ada dalam kancah kejurnalistikan yaitu sejak tahun 1988. dan belum lama ini LPDS memang baru saja merayakan HUTnya yang ke-21 tahun. Untuk merayakan hari ulang tahunnya itu LPDS mengadakan LOKAKARYA seminar selama tiga hari yang diselenggarakan pada tanggal 21-23 Juli 2009 pukul 14.00-17.00 Wib. Tema yang diusung dalam seminar ini menarik dan berbeda setiap harinya. Untuk itu, ketika pertama kali undangan acara itu mampir di Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ), kawan-kawan Persma se-Jakarta sangat antusias untuk menghadiri seminar itu. Apalagi dengan adanya pembicara yang namanya sudah tidak asing lagi dalam dunia kejurnalistikan. Mereka yaitu ; Atmakusumah Astraatmadja, Budiman Tanuredjo (Redpel Kompas), Karni Ilyas, dan Ahmad Faisol dari media Wacht ISAI yang membahas mengenai rekam jejak berita pemilu di media. Seminar pertama dengan tema “Menegakkan Etika Jurnalistik, Mendorong Profesionalisme Wartawan” ini dipandu oleh Martin Selamet Susanto (Pemred harian koran Jakarta) sebagai moderator.

Hari kedua, tidak kalah menarik. Pembahasan pada seminar kali ini adalah mengenai pemakaian “Penerapan Istilah Asing dalam Bahasa Jurnalistik” yang dituturkan oleh Desi Anwar (GM Marketing Metro TV) selaku salah satu pembicara dalam seminar ini. Selain Desi Anwar, pembicara pada hari kedua seminar ini adalah Prof. Dr. Anton M. Moeliono (pakar bahasa) dan juga Prof. Dr. Arief Rahman (pakar pendidikan, ketua humas Komnas UNESCO) yang dipandu oleh Mulyono Sunyoto (LKBN ANTARA) sebagai moderator dalam mengaitkan pemakaian istilah asing yang sudah dipaparkan sebelumnya, dengan Bahasa Indonesia, sebagai jati diri bangsa.

Hari ketiga, merupakan puncak dari serangkaian acara HUT LPDS ke-21. Acara ini dibuka dengan pembagian merchindes berupa dua buah buku yang berjudul “Pengelolahan Kebebasan Pers dan Menolak Kriminalisasi Pers” yang masing-masing buku itu adalah terbitan dari Dewan Pers sendiri. Kemudian acara dilanjutkan dengan jamuan makan siang dan pemotongan kue ulang tahun serta tiup lilin. Hadir dalam acara ini diantaranya adalah Bambang Harimurti (pengurus, ketua umum LPDS) dan semua pengurus LPDS lainnya serta para undangan kehormatan lainnya. Setelah tiup lilin, acara dilanjutkan dengan seminar LOKAKARYA hingga pukul 17.00 Wib. Dengan berakhirnya acara seminar ini, berarti berakhir pula seluruh rangkaian kegiatan HUT LPDS ke-21. Tidak lupa kami segenap pengurus FPMJ turut pula mengucapkan selamat ulang tahun dan sukses selalu bagi LPDS. *Hendri (LPM Industria – STMI).

Minggu, 09 Agustus 2009

PERISTIWA

Teguran Keras Rektorat untuk Aspirasi



Oleh : Triyogo Handoyo (Pemred ASPIRASI)


Awal bulan Mei, tiba-tiba Ferry Triharsono, kepala bagian kemahasiswaan datang ke Aspirasi dan meminta Jurnal Edisi Mei, seraya memanggil saya untuk menemuinya di ruang kemahasiswaan, Gedung Rektorat, Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran ” Jakarta.


Padahal waktu belum bulat menunjukkan jam delapan pagi. Entah, angin apa yang membawa Ferry untuk memanggil saya, dengan raut yang serius tentunya. Hampir siang, sekitar jam sebelas saya memenuhi panggilan itu. Ia bertanya dan mempersoalkan tentang Jurnal Edisi Mei yang mengangkat tentang penahanan sembilan mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran” Jakarta, dan aksi mahasiswa pada 28 April 2009 silam. Berita yang diangkat Aspirasi tersebut dianggap provokatif oleh pihak Rektor. Wakil Rektor (Warek) III Prijadi, memberitahu saya ditemani Nobelson selaku Kepala Biro (Karo) Kemahasiswaan dan Djamhari sebagai anggota tim advokasi LBH UPN yang juga menangani kasus yang sedang marak pertengahan April lalu.

Menurut Rektor Budiman Djoko Said, tulisan Aspirasi dinilai provokatif dan memojokkan dirinya sebagai Rektor UPNVJ. Pemanggilan saya tidak berhenti sampai disini, berlanjut hingga hari pembukaan Pendidikan Jurnalistik Mahasiswa (PJM) XXIV yang diselenggarakan oleh Aspirasi, kami berdiskusi dan mendengar keluhan rektor tentang dampak pemberitaan Jurnal Aspirasi yang dianggap membawa citra negatif dan merosotnya Pendaftaraan Mahasiswa Baru (Penmaru) 2009.

Hingga akhirnya pemanggilan kami yang ketiga, masih di sela-sela PJM berlangsung, Budiman meminta untuk diskusi dengan salah satu praktisi jurnalistik yang sekaligus menjadi pembicara yaitu : Ali Nur Yasin, Redaktur Tempo yang bersedia kami undang untuk diskusi dengan rektor yang menjabat sejak 2006 silam.

Namun, sayangnya karena Rektor mangkir dari diskusi tersebut. Diskusi tersebut diserahkan oleh wakilnya. Warek II, Ferryadi. Selain itu, dalam diskusi itu juga turut hadir Humas UPN, Kusumayanti dan Djamhari. Di ruang kerja ferryadi, tepatnya di kursi tamu kita masih berdialog tentang Jurnal Edisi Mei, dengan etika kejurnalistikan, proposional berita dan perbandingan antara Pers kampus dengan Pers Nasional.

Kami kira, hingga tiga kali pemanggilan itu masalah sudah selesai. Namun, hal ini malah justru berbuntut panjang, yaitu ditandai dengan adanya surat teguran keras dari pihak Rektor yang ditujukan untuk Aspirasi. Ternyata teguran itu tidak hanya mampir ke Aspirasi saja tapi juga ke keseluruh UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) di kampus Veteran. Isi surat teguran atau somasi yang dilayangkan oleh pihak rektorat kepada Aspirasi itu merupakan bentuk dari pemasungan terhadap kebebasan pers mahasiswa. Untuk itu, kami dari pihak redaksi Aspirasi meminta dukungan moriil dari FPMJ (Forum Pers Mahasiswa Jakarta) dengan menghadirkan berbagai (LPM) Lembaga Pers Mahasiswa dari 13 Universitas di Jakarta. Isi dari diskusi lesehan ini diantaranya membahas betapa represifnya rektorat dalam menekan Aspirasi, mulai dari proses peliputan yang dibatasi dan tidak kooperatif ketika diwawancarai.

Sebagai bentuk dukungan FPMJ dalam forum diskusi lesehan yang diadakan pada Kamis, tanggal 30 Juli 2009 itu. Teman-teman LPM dari 13 Universitas memberikan cap stempel dan tanda tangan sebagai bentuk dukungan untuk kebebasan pers di Aspirasi. Selain FPMJ, diskusi yang diadakan di depan skretariat baru LPM Aspirasi ini juga turut mengundang Bang Eko dari Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) sebagai pembicara dan juga UKM, HMJ serta BEMU kampus yang dinaungi langsung oleh Departeman pertahanan ini.

Diselenggarakannya diskusi lesehan ini dilakukan untuk mencari jalan keluar (red:Advokasi) atas permasalahan somasi rektorat yang tidak logis karena dengan sengaja menekan Pers Kampus untuk mengangkat berita yang bernilai positif dibandingkan menyajikan berita sensasi negatif yang merusak citra UPN. Padahal, berita itu mencerminkan realita sosial yang terjadi di kampus hijau ini. Tak hanya itu, diskusi ini juga ternyata dijadikan peluang bagi para anggota-anggota UKM lainnya untuk mengeluarkan unek-uneknya tentang sikap rektorat yang menggunakan kekuasaanya untuk mengekang kreatifitas mahasiswa.

Diskusi ini berakhir menjelang magrib tiba. Namun, semangat perjuangan untuk memperoleh hak berkreatifitas dalam mengangkat berita dan bebas mengeluarkan pendapat tidak berhenti sampai disini untu itu dari pihak Aspirasi sepakat untuk meneruskan masalah ini ketahap yang lebih serius yaitu, dengan melakukan konsolidasi bersama BEMU dan Ormawa lainnya untuk diperjuangkan kembali oleh Badan Eksekutif Mahasiswa UPNVJ dalam proses shearing dengan pihak Rektorat.