Selasa, 11 Agustus 2009

KEGIATAN FPMJ

KEBANGKITAN FPMJ

Diawali dengan Semangat Tanpa Batas

Oleh : Jesica Suwandjaja

LPM Adigama - UNTAR


Setelah sempat mengalami kevacuman regenerasi presidium selama satu tahun. Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ) memasok amunisinya untuk bangkit kembali memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan dunia jurnalistik.


Pada tanggal 18-20 Juni 2009, bertempat di Villa Mang Yana, Cisarua, Bogor. Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ) menggelar kembali Kongres FPMJ dengan tujuan untuk membentuk regenerasi kepengurusan baru dewan presidium priode mendatang. Setelah sempat mengalami kevakuman beberapa waktu lalu. Namun, seakan tidak ingin jatuh pada kesalahan yang sama. FPMJ kini mencoba bangkit, evaluasi untuk melakukan perubahan dan membangun prinsip konsistensi serta kebersamaan.

Bicara mengenai Persma (Pers Mahasiswa), FPMJ sendiri awalnya dibentuk untuk menggalang kekuatan pergerakan masyarakat untuk melawan pemerintah yang tidak transparan serta memberikan advokasi kepada masalah yang berkenaan dengan kebebasan pers baik dalam masyarakat maupun lingkup pers kampus.

Pers mahasiswa merupakan bagian dari pahlawan reformasi karena runtuhnya rezim Orba tidak lepas dari gerakan pers mahasiswa. “masa lalu Persma memang identik dengan pers alternative yang bernuansa pergerakan” kata Sugeng Sutrisna, Pimpinan Umum LPM Didaktika, UNJ.hal ini, menunjukan bahwa peran Persma lebih dari sekedar hobi dan jurnalistik. Persma merupakan sarana mahasiswa untuk belajar berani mengeluarkan pendapat dan menyampaikan aspirasi baik lisan maupun tulisan dengan cara yang sopan dan elegan. Untuk itulah kongres ini diadakan agar tunas-tunas Persma selalu berkembang untuk melakukan sebuah pergerakan.

Kongres ini digelas selama tiga hari, dua malam. Dengan penjadwalan agenda yang lumayan padat. Malam pada kongres hari pertama, agenda dijadwalkan untuk pembahasan evaluasi dari berakhirnya masa jabatan Muhamad Rifai (LPM Media Publica-Moestopo) sebagai Ketua Koor. Presidium FPMJ yang lalu. Selanjutnya, pada hari kedua dimulai sesudah sarapan pagi pada pukul 09.00 Wib. Agenda kali ini dijadwalkan untuk membahas mengenai pencitraan FPMJ, pengukuhan kembali visi, misi dan tujuan FPMJ. Serta dibahas pula mengenai AD/ART FPMJ. Pada pembahasan agenda kali ini berlangsung sangat alot serta sampai menguras pikiran, emosi dan tenaga. Setelah mengalami tiga kali pergantian pimpinan sidang. Akhirnya pembahasan mengenai AD/ ART ini berakhir pada 02.00 Wib dini hari, hal ini ditandai dengan diketuknya palu sidang tanda pengesahannya AD/ART untuk periode 2009-2010 oleh Akhwani Subkhi (LPM Institut – UIN) selaku Pimpinan Sidang tersebut.

Minggu, agenda terakhir dalam kongres ini adalah membentuk kepengurusan baru dewan presidium FPMJ dengan masing-masing 13 Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) dari tiap-tiap Universitas mencalonkan masing-masing kader terbaiknya. Setelah itu, pemilihan ketua koor. Presidium tersebut dilakukan dengan cara voting setelah masing-masing calon presidium menyampaikan presentasi mengenai akan dibawa kemana FPMJ nantinya kedepan.

Akhirnya, dengan mengibarkan tema “Semangat Tanpa Batas” kongres FPMJ kali ini berhasil melanjutkan regenerasinya ditandai dengan terpilihnya M. Wahyu Ariyanto (LPM Orientasi – Mercubuana) sebagai Ketua Koor. Presidium yang baru. Dengan hasil kongres terakhir menetapkan, bahwa program FPMJ kedepan akan lebih memfokuskan kepada tiga divisi saja yaitu : Divisi Advokasi yang akan berkerjasama dengan LBH terkait untuk melindungi hak kebebasan berpendapat masyarakat dan juga melindungi hak Persma dalam mengusung kebebasan pers di LPM kampusnya masing-masing; Divisi Kajian untuk meningkatkan kualitas daya kritis dan memperluas wawasan bagi masing-masing anggota FPMJ; Divisi Penerbitan untuk menghasilkan produk bulletin dwibulanan “SOLIDARITAS” dan juga majalah FPMJ yang merupakan hasil kerjasama gabungan dari tiap-tiap LPM se-Jakarta yang tergabung dalam keanggotaan FPMJ. Diharapkan dengan adanya koordinasi dari Nur Rachma (LPM Adigama –Untar) selaku Pemimpin Redaksi (PEMRED) terbitan “SOLIDARITAS” FPMJ ini dapat menjadi pengikat untuk membangun kebersamaan antar anggota FPMJ seiring dengan intensitas komunikasi yang baik.

Sebelum pulang, acara penutupan dari kongres FPMJ ini diakhiri dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Dara Juang serta dilanjutkan dengan foto-foto oleh seluruh anggota kongres untuk dokumentasi kenang-kenang.

AKTIFITAS FPMJ

Selamat Ulang Tahun LPDS Ke-21

Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) yang pada tahun 2008 lalu telah berganti nama menjadi Yayasan Pendidikan Multimedia Adinegoro (YPMA) ini adalah tempat pusat Pelatihan dan Pengembangan Jurnalisme Profesional, yang beralokasikan di Gedung Dewan Pers Lantai III Jl. Kebon Sirih No.34 Jakarta pusat.

LPDS, begitu lembaga ini lebih dikenal. Memang sudah lama ada dalam kancah kejurnalistikan yaitu sejak tahun 1988. dan belum lama ini LPDS memang baru saja merayakan HUTnya yang ke-21 tahun. Untuk merayakan hari ulang tahunnya itu LPDS mengadakan LOKAKARYA seminar selama tiga hari yang diselenggarakan pada tanggal 21-23 Juli 2009 pukul 14.00-17.00 Wib. Tema yang diusung dalam seminar ini menarik dan berbeda setiap harinya. Untuk itu, ketika pertama kali undangan acara itu mampir di Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ), kawan-kawan Persma se-Jakarta sangat antusias untuk menghadiri seminar itu. Apalagi dengan adanya pembicara yang namanya sudah tidak asing lagi dalam dunia kejurnalistikan. Mereka yaitu ; Atmakusumah Astraatmadja, Budiman Tanuredjo (Redpel Kompas), Karni Ilyas, dan Ahmad Faisol dari media Wacht ISAI yang membahas mengenai rekam jejak berita pemilu di media. Seminar pertama dengan tema “Menegakkan Etika Jurnalistik, Mendorong Profesionalisme Wartawan” ini dipandu oleh Martin Selamet Susanto (Pemred harian koran Jakarta) sebagai moderator.

Hari kedua, tidak kalah menarik. Pembahasan pada seminar kali ini adalah mengenai pemakaian “Penerapan Istilah Asing dalam Bahasa Jurnalistik” yang dituturkan oleh Desi Anwar (GM Marketing Metro TV) selaku salah satu pembicara dalam seminar ini. Selain Desi Anwar, pembicara pada hari kedua seminar ini adalah Prof. Dr. Anton M. Moeliono (pakar bahasa) dan juga Prof. Dr. Arief Rahman (pakar pendidikan, ketua humas Komnas UNESCO) yang dipandu oleh Mulyono Sunyoto (LKBN ANTARA) sebagai moderator dalam mengaitkan pemakaian istilah asing yang sudah dipaparkan sebelumnya, dengan Bahasa Indonesia, sebagai jati diri bangsa.

Hari ketiga, merupakan puncak dari serangkaian acara HUT LPDS ke-21. Acara ini dibuka dengan pembagian merchindes berupa dua buah buku yang berjudul “Pengelolahan Kebebasan Pers dan Menolak Kriminalisasi Pers” yang masing-masing buku itu adalah terbitan dari Dewan Pers sendiri. Kemudian acara dilanjutkan dengan jamuan makan siang dan pemotongan kue ulang tahun serta tiup lilin. Hadir dalam acara ini diantaranya adalah Bambang Harimurti (pengurus, ketua umum LPDS) dan semua pengurus LPDS lainnya serta para undangan kehormatan lainnya. Setelah tiup lilin, acara dilanjutkan dengan seminar LOKAKARYA hingga pukul 17.00 Wib. Dengan berakhirnya acara seminar ini, berarti berakhir pula seluruh rangkaian kegiatan HUT LPDS ke-21. Tidak lupa kami segenap pengurus FPMJ turut pula mengucapkan selamat ulang tahun dan sukses selalu bagi LPDS. *Hendri (LPM Industria – STMI).

Minggu, 09 Agustus 2009

PERISTIWA

Teguran Keras Rektorat untuk Aspirasi



Oleh : Triyogo Handoyo (Pemred ASPIRASI)


Awal bulan Mei, tiba-tiba Ferry Triharsono, kepala bagian kemahasiswaan datang ke Aspirasi dan meminta Jurnal Edisi Mei, seraya memanggil saya untuk menemuinya di ruang kemahasiswaan, Gedung Rektorat, Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran ” Jakarta.


Padahal waktu belum bulat menunjukkan jam delapan pagi. Entah, angin apa yang membawa Ferry untuk memanggil saya, dengan raut yang serius tentunya. Hampir siang, sekitar jam sebelas saya memenuhi panggilan itu. Ia bertanya dan mempersoalkan tentang Jurnal Edisi Mei yang mengangkat tentang penahanan sembilan mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran” Jakarta, dan aksi mahasiswa pada 28 April 2009 silam. Berita yang diangkat Aspirasi tersebut dianggap provokatif oleh pihak Rektor. Wakil Rektor (Warek) III Prijadi, memberitahu saya ditemani Nobelson selaku Kepala Biro (Karo) Kemahasiswaan dan Djamhari sebagai anggota tim advokasi LBH UPN yang juga menangani kasus yang sedang marak pertengahan April lalu.

Menurut Rektor Budiman Djoko Said, tulisan Aspirasi dinilai provokatif dan memojokkan dirinya sebagai Rektor UPNVJ. Pemanggilan saya tidak berhenti sampai disini, berlanjut hingga hari pembukaan Pendidikan Jurnalistik Mahasiswa (PJM) XXIV yang diselenggarakan oleh Aspirasi, kami berdiskusi dan mendengar keluhan rektor tentang dampak pemberitaan Jurnal Aspirasi yang dianggap membawa citra negatif dan merosotnya Pendaftaraan Mahasiswa Baru (Penmaru) 2009.

Hingga akhirnya pemanggilan kami yang ketiga, masih di sela-sela PJM berlangsung, Budiman meminta untuk diskusi dengan salah satu praktisi jurnalistik yang sekaligus menjadi pembicara yaitu : Ali Nur Yasin, Redaktur Tempo yang bersedia kami undang untuk diskusi dengan rektor yang menjabat sejak 2006 silam.

Namun, sayangnya karena Rektor mangkir dari diskusi tersebut. Diskusi tersebut diserahkan oleh wakilnya. Warek II, Ferryadi. Selain itu, dalam diskusi itu juga turut hadir Humas UPN, Kusumayanti dan Djamhari. Di ruang kerja ferryadi, tepatnya di kursi tamu kita masih berdialog tentang Jurnal Edisi Mei, dengan etika kejurnalistikan, proposional berita dan perbandingan antara Pers kampus dengan Pers Nasional.

Kami kira, hingga tiga kali pemanggilan itu masalah sudah selesai. Namun, hal ini malah justru berbuntut panjang, yaitu ditandai dengan adanya surat teguran keras dari pihak Rektor yang ditujukan untuk Aspirasi. Ternyata teguran itu tidak hanya mampir ke Aspirasi saja tapi juga ke keseluruh UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) di kampus Veteran. Isi surat teguran atau somasi yang dilayangkan oleh pihak rektorat kepada Aspirasi itu merupakan bentuk dari pemasungan terhadap kebebasan pers mahasiswa. Untuk itu, kami dari pihak redaksi Aspirasi meminta dukungan moriil dari FPMJ (Forum Pers Mahasiswa Jakarta) dengan menghadirkan berbagai (LPM) Lembaga Pers Mahasiswa dari 13 Universitas di Jakarta. Isi dari diskusi lesehan ini diantaranya membahas betapa represifnya rektorat dalam menekan Aspirasi, mulai dari proses peliputan yang dibatasi dan tidak kooperatif ketika diwawancarai.

Sebagai bentuk dukungan FPMJ dalam forum diskusi lesehan yang diadakan pada Kamis, tanggal 30 Juli 2009 itu. Teman-teman LPM dari 13 Universitas memberikan cap stempel dan tanda tangan sebagai bentuk dukungan untuk kebebasan pers di Aspirasi. Selain FPMJ, diskusi yang diadakan di depan skretariat baru LPM Aspirasi ini juga turut mengundang Bang Eko dari Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) sebagai pembicara dan juga UKM, HMJ serta BEMU kampus yang dinaungi langsung oleh Departeman pertahanan ini.

Diselenggarakannya diskusi lesehan ini dilakukan untuk mencari jalan keluar (red:Advokasi) atas permasalahan somasi rektorat yang tidak logis karena dengan sengaja menekan Pers Kampus untuk mengangkat berita yang bernilai positif dibandingkan menyajikan berita sensasi negatif yang merusak citra UPN. Padahal, berita itu mencerminkan realita sosial yang terjadi di kampus hijau ini. Tak hanya itu, diskusi ini juga ternyata dijadikan peluang bagi para anggota-anggota UKM lainnya untuk mengeluarkan unek-uneknya tentang sikap rektorat yang menggunakan kekuasaanya untuk mengekang kreatifitas mahasiswa.

Diskusi ini berakhir menjelang magrib tiba. Namun, semangat perjuangan untuk memperoleh hak berkreatifitas dalam mengangkat berita dan bebas mengeluarkan pendapat tidak berhenti sampai disini untu itu dari pihak Aspirasi sepakat untuk meneruskan masalah ini ketahap yang lebih serius yaitu, dengan melakukan konsolidasi bersama BEMU dan Ormawa lainnya untuk diperjuangkan kembali oleh Badan Eksekutif Mahasiswa UPNVJ dalam proses shearing dengan pihak Rektorat.

Seputar Kampus

Pasca Somasi Rektorat UPN terhadap Aspirasi


Aspirasi, pers mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta memperoleh teguran keras dari rektor atas pemberitaannya pada Jurnal edisi Mei 2009.


Pemberitaan Aspirasi pada Jurnal edisi Mei 2009, yang mengangkat kasus tentang sembilan mahasiswa UPN yang menjadi tersangka, karena kasus pemukulan dan penganiayaan terhadap mahasiswa Fakultas Hukum UPN yang mengakibatkan Rektor kelabakan. Kredibilitas orang nomor satu di kampus hijau ini menjadi taruhannya, yaitu pada Pendaftaran mahasiswa baru (Penmaru) 2009, stigma negatif pun takut melekat pada diri pria yang menjabat rektor UPN sejak tahun 2006 lalu.

Alhasil, Ia menekan Aspirasi untuk tidak memberitakan kasus yang dinilai mengancam citra UPN, yang diklaim baik selama Ia bertahta. Maka pada Selasa (30/06) lalu, Aspirasi mengadakan diskusi lesehan yang dihadiri oleh beberapa Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Serta tidak ketinggalan Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ) turut membantu terlaksananya diskusi lesehan yang bertajuk “Kebebasan Pers Mahasiswa”.

Diskusi yang dilaksanakan di depan sekretariat baru Aspirasi diadakan secara informal. Sesuai dengan namanya, yaitu diskusi lesehan. Acara ini berlangsung beratapkan langit dan beralaskan karpet. Yang menjadi moderator dalam diskusi ini adalah Dede Pemimpin Umum LPM Institute – UIN sekaligusjuga mewakili FPMJ sebagai divisi advokasi. Diskusi ini juga turut mengundang pembicara dari Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) yang diwakili oleh Bang Eko.

Awal acara dibuka dengan latar belakang masalah yang tengah diperbincangkan, yaitu kebebasan Aspirasi sebagai Persma UPN yang terancam akan dibekukan oleh rektor. Acara yang berlangsung di senja selasa ini pun tidak menurunkan minat peserta. Mereka ikut berpartisipasi dalam dikusi. Tidak hanya datang, mereka juga memberikan solusi bagi masalah yang tengah dihadapi LPM Aspirasi. “AJI akan membantu Aspirasi untuk menghadapi masalah ini, apalagi semua prosedur pemberitaan telah dilaksanakan sesuai kode etik,” jelas pria separuh baya ini.

Putaran waktu terus bergulir dan suasana diskusi semakin lama semakin menemukan titik terangnya. Ini terlihat ketika berbagai macam solusi diungkapkan oleh setiap peserta. Tak hanya Aspirasi, UKM lainnya pun ikut menambah panjang permasalahan yang sebenarnya terajdi di UPN yang hingga sekarang belum mendapatkan jalan keluar. Hingga adzan magrib terdengar, barulah diskusi ini berakhir. qASPIRASI. Zulfa Rosyadillah

KEMBALI MEMPOSISI SEBAGAI OPOSISI

Tak seperti pemilu legislatif pada 9 April 2009 silam. Pagi, 8 Juli lalu, saya sengaja bangun untuk mencontreng pemilu presiden lebih awal, alasanya agar tidak mengantri dan menunggu giliran lebih lama.


Namun, sepertinya tidak hanya saya yang belajar dari pengalaman tentang pemilu caleg lalu, konstituen di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 46 warga Cipinang Melayu pun berbondong-bondong, untuk memilih dalam pesta demokrasi lima tahunan ini.

Hingar bingar tentang Pilpres lalu pun masih menghiasi perbincangan di layar televisi dan headline surat kabar lokal, mulai dari gerakan satu putaran (Gestapu) yang sudah didengung-dengungkan sebelum hari penyontrengan oleh salah satu calon presiden, keresahan sebagian pihak atas hasil quick count yang telah diumumkan sejak pukul 09.00 pagi, belum lagi masalah DPT yang masih carut marut, hingga probabilitas untuk menjadi oposisi pun di blow up ke public.

Oposisi berarti berlawanan atau bertentangan, wacana ini bukan hadir pada saat hasil pilpres telah ditetapkan oleh KPU. Tetapi, jauh sebelum itu. PDI-P telah menetapkan dirinya sebagai partai oposisi. Mengkritik habis-habisan segala kebijakan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) periode lalu. Tampaknya, hal yang sama akan dia lakukan pada periode selanjutnya, jika Mahkamah Agung menetapkan SBY sebagai pemangku jabatan presiden lagi, untuk lima tahun mendatang.

Tidak ingin sendiri, PDI-P mengajak GOLKAR untuk menemaninya berdiri sebagai oposisi. Tradisi oposisi partai berlambang banteng ini memang sudah cukup lama, sejak Megawati memimpin, ditambah lagi dengan kekalahannya pada Pemilu 2004 lalu.

Sedangkan GOLKAR, memang tidak mempunyai sejarah yang menempatkan partai ini berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Apalagi, Jusuf Kalla (JK) ketua umum partai yang khas dengan pohon beringinnya ini, malah menjadi wakil presiden menemani SBY.

Berbanding terbalik dengan 2004 lalu, kini JK menjadi kompetitor yang kalah bersaing dengan SBY. Otomatis, GOLKAR pun mulai patah arang dan berubah haluan untuk memantapkan posisinya, sebagai oposisi atau partai yang mendukung pemerintah. Walau, sebenarnya polemik ini masih menjadi perdebatan sendiri di tubuh GOLKAR.

Mundur kebelakang, sebelum Pilpres digelar, tiap capres mengembar-gemborkan prestasinya lewat iklan di Media. Seolah ingin menciptakan opini publik yang positif, bak humas dalam sebuah perusahaan yang melakukan survei tentang keberhasilan masing-masing calon. Entah versi mana yang benar, tetapi yang dirugikan justru masyarakat awam yang tidak mengerti tentang angka dan data-data statistik yang disajikan oleh survei buatan para capres.

Kalah, bukan berarti memposisikan diri sebagai oposisi. Bergerak di sayap kiri. Selalu bertentangan dengan program pemerintah dan seakan-akan menjatuhkan kredibilitas badan eksekutif dimata masyarakat.

Oposisi rupanya dibutuhkan bukan hanya untuk mengawasi kekuasaan. Tetapi juga diperlukan, untuk mengungkapkan hal baik dan benar dalam politik yang haruslah tetap diperjuangkan meski melalui kontes politik dan diuji dalam wacana politik terbuka, dan hendaknya oposisi juga memberi solusi tentang kebijakan pemerintah yang dinilai tidak pro rakyat. (Yogo - Aspirasi)

Demokrasi yang Sesungguhnya

Oleh : Shinta Anggraeni – LPM Kontak

Demokrasi merupakan hal yang sudah tak asing lagi didengar. Sudah 11 tahun Indonesia menganut system ini sejak terlepas dari kekuasaan orde baru yang merenggut kebebasan rakyatnya untuk bersuara. Demokrasi sama saja dengan kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat, dan menyampaikan aspirasi dengan cara yang elegan dan sopan. Banyak orang yang salah kaprah mengartikan demokrasi sebagai suatu kebebasan tanpa batas. Bertindak anarkis, represif mengatas namakan demokrasi.

Beberapa saat yang lalu bangsa ini selesai menjalankan proses demokrasi. Mengadakan pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil presiden yang akan memimpin bangsa ini lima tahun ke depan. Pemilihan yang secara keseluruhan sudah dinilai baik olehsebagian pihak. Namun, tetap saja ada sebagian pihak yang lain merasa tidak puas dengan pemilihan presiden kali ini. Itulah indahnya demokrasi, bukan hanya seiya sekata namun banyak perbedaan yang menjadikan kita bangsa yang kaya, bukan hanya kaya dengan sumber daya alam tapi juga kaya dengan perbedaan pendapatnya.

Kisruh DPT (Daftar Pemilih Tetap), politik uang dan kecurangan-kecurangan lainnya merupakan isu yang sangat sering kita setiap pemilu berlangsung. Kisruh DPT yang sudah menjadi isu besar pada pemilihan legislative beberapa waktu lalu, kini terulang kembali. Banyak rakyat yang tidak mendapat hak suara untuk memilih padahal Ia sudah memenuhi syarat untuk itu, hal ini juga menjadi makin melambungnya angka golput. Kondisi seperti ini tentunya membuat kita mempertanyakan kinerja KPU dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pelaksana Pemili 2009 ini. Sepertinya KPU tidak jua pernah bisa mengambil pelajaran dari penyelenggaraan pemilu legislative 9 April lalu maupun pemilu-pemilu sebelumnya. Bitambah lagi problem Data yang kurang valid serta kekurang tanggapan KPU dalam hal ini seolah membuat permasalahan kisruh DPT ini tidak pernah menemukan titik solusi untuk menyelesaikannya. Beberapa golongan menjadikan isu ini sebagai kecacatan dalam pemilihan umum kali ini. Meski Mahkamah Konstitusi (MK) telah mencari jalan tengah dalam mengatasi masalah ini, yaitu dengan diperbolehkannyapemilih yang sudah memenuhi syarat untuk memilih dapat menggunakan KTP (Kartu Tanda Penduduk), KK (Kartu Keluarga) maupun kartu kependudukan lainnya. Namun hal ini tetap saja tidak dapat mengatasi masalah, karena ketersediaan surat suara yang ada di TPS (Tempat Pemungutan Suara) nyatanya hanya terbatas jumlahnya sehingga tidak semua pemilih yang tidak tercantum dalam dpt dapat memberikan suaranya.

Selain itu isu politik uang juga menjadi isu yang banyak diangkat pasca pilpres. Pemberian sejumlah barang atau uang agar para pemilih memilih kandidat yang diusung merupakan salah satu bentuk politik uang yang rutin terjadi dalam proses pemilu yang katanya untuk mencapai kata “Demokrasi”. Suatu tindakan pembodohan terhadap rakyat tentang makna demokrasi yang sebenarnya. Faktor keterbatasan ekonomi menjadi salah satu pemicu mengapa rakyat dengan mudah menerima sejumlah barang atau uang tersebut. Entah nantinya ia akan memilih kandidat tersebut atau tidak, tetap saja itu merupakan tindak pembodohan.

Sebagai bentuk introspeksi, berbagai masalah yang terjadi dalam pemilihan umum kali ini tidak hanya salah KPU semata, namun juga kesalahan rakyat yang kurang peduli terhadap jalannya pemilu. malah cenderung bersikap Apatis terhadap penyelenggaraan pemilu kali ini. Sikap peduli pada kehidupan bangsa kedepan seharusnya menjadi salah satu sikap yang harus dimiliki oleh setiap rakyat agar pemerintahan kedepan dapat berjalan baik dipimpin oleh pemerintah yang bersih, memiliki kapabilitas dalam menjalankan tugasnya dan pemerintah yang mendukung segala kebijakan yang tidak menyusahkan rakyatnya.

Bercermin dari berbagai masalah yang terjadi dari pemilihan presiden kali ini seharusnya menjadikan pembelajaran bagi penyelenggara pemilihan umum mendatang. Dengan begitu masalah-masalah yang kerap kali dialami dalam pemilu sebelumnya tidak akan terulang kembali dan menjadikan proses demokrasi yang dijalankan dapat berjalan dengan sempurna sebagaimana mestinya demokrasi itu berjalan. Kita semua mengharapkan bahwa proses demokrasi itu berjalan dengan baik dan dapat memberikan pembelajaran terhadap rakyat Indonesia tentang apa dan bagaimana mestinya demokrasi harus diterapkan dalam kehidupan bernegara. Bukankah 11 tahun sudah cukup lama untuk mengubah system democrazy yang terjadi selama ini di Indonesia menjadi Demokrasi yang sesungguhnya? Tentunya, untuk mewujudkan hal ini, perana rakyat haruslah lebih dominan. Mari wujudkan demokrasi yang sesungguhnya di negeri ini.