Kamis, 09 Juli 2009
Ahkirnya, setelah melaksanakan Kongres FPMJ dengan tema "Semangat Tanpa Batas" Pada Jumat-Minggu, 17-19 Juni 2009 bertempat di Villa Mang Yana, Cisarua - BOGOR. dari Kongres ini terbentuklah susunan kepengurusan FPMJ untuk periode 2009-2010.
Dengan terpilihnya wakil-wakil Pers Mahasiswa menjadi Dewan Presidium FPMJ.
Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) yang tergabung dalam FPMJ sampai saat ini adalah :
1. LPM Orientasi - Univ. Mercu Buana
2. LPM Adigama - Univ. Tarumanagara (UNTAR)
3. LPM Kontak - Akademi Pimpinan Perusahaan (APP)
4. LPM Aspirasi - Univ. Pembangunan Nasional (UPN)
5. LPM Suara Hukum - Univ. Trisakti
6. LPM Didaktika - Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
7. LPM Wreta Aksa - Universitas Nasional (UNAS)
8. LPM Media Publica- Univ. Prof. DR. Moestopo (Beragama)
9. LPM Diamma - Univ. Prof. DR. Moestopo (Beragama)
10 LPM Institut - Univ. Islam Negeri Jakarta (UIN)
11 LPM Retorika - Univ. Pancasila
12 LPM Sukma - Universitas Terbuka (UT)
13 LPM Industria - Sekolah Tinggi Manajemen Industri (STMI)
8 Juli 2009, Bukan Akhir dari Pesta Demokrasi
Oleh : Nur Rachma – ADIGAMA
Mahasiswa Fakultas Hukum – Untar
Terpilihnya seorang Presiden dan Wakil Presiden bukanlah akhir dari partsipasi rakyat dalam menentukan nasibnya di negeri sendiri. Karma itu, BANGUN! BANGKIT! Jangan terbuai dengan ilusi dalam pesta singkat ini. Jangan biarkan mereka yang kita pilih justru asyik berpesta sendiri dan tanpa control selama 5 tahun kedepan.
Tentunya masih segar dalam ingatan kita, sebelum moment penentuan nasib bangsa itu di perhelatkan dalam satu hari besar. 8 Juli 2009 yaitu hari dimana sebagian besar rakyat
Kini Bangsa
Semoga rakyat semakin cerdas dalam menilai, hari pencontrengan memang sudah berlalu. Siapapun figure pemimpin bangsa
Untuk itu, Penulis menularkan “Semangat Tanpa Batas” dari FPMJ (Forum Pers Mahasiswa Jakarta) kepada para pembaca. Mari satukan rakyat untuk bersama menciptakan keberhasilan demokrasi sesungguhnya karena kunci keberhasilan dari demokrasi sendiri itu sangat tergantung pada sejauhmana warga Negara memiliki kemauan untuk melibatkan diri dalam kepentingan kesejahteraan public. (Thomas Mayer, Social and libertarian democracy – 2005).
Mozaik Hitam Pesta Demokrasi
Penulis : Hendro
DIDAKTIKA - UNJ
Deretan spanduk calon presiden dan wakilnya terpampang disetiap persimpangan jalan raya dan protokol. Segala upaya untuk memobilisir rakyat tumpah dalam gerak taktisnya. Apalagi setiap orasi politiknya saat kampanye. Salah satunya dengan mengusung janji yang berbasis kerakyatan, anti-Neoliberalisme. Sampai yang mengkritik kebijakan pemerintah saat ini yang kurang cepat dalam memutuskan kebijakan.
Saling menjatuhkan terhadap kandidat capres menjadi salah satu ciri khas pemilu 2009. Ditambah, kelihaian mereka dalam membangun opini publik dengan simbolitas slogan yang mereka usung. Seperti “ Pro rakyat” dari Mega-Pro, “lanjutkan” dari pihak SBY-Boediono, serta “lebih cepat lebih baik” dari JK-Win.
Maka tidak heran, jika sebagian masyarakat terperangah dengan slogan-slogan yang diperlihatkan melalui media cetak dan media elektronik. Terkejut atas perilaku capres yang mempunyai hobi pengakuan atau pencitraan. Sebagai citra superior salah satu dari mereka yang paling baik dan profesional, serta yang dekat dengan rakyat. Walau hakikatnya, rakyat belum berkuasa.
“Rakyat kuasa”. Sebuah harapan dasar bagi rakyat Indonesia. Harapan yang telah hadir sekian lama di dalam pikiran manusia Indonesia. Sejak tercetusnya revolusi kemerdekaan yang mulai diambil alih rezim orde lama. Yang mengusung tema demokrasi terpimpin tipe Soekarno. Sampai rezim orde lama berganti dengan orde baru dengan gaya represifitas yang tinggi. Rakyat belum dapat berkuasa dengan segala hak dan kewajiban diatas negara yang kaya konstitusi hukum.
Buktinya, sampai sepuluh tahun pasca reformasi. Pengangguran terus bertambah. Belum lagi, perampasan lahan petani yang terjadi. Sebatas untuk merubah desa menjadi kota seperti di daerah Suklilo-Kayen, Pati, Jawa tengah yang lahannya akan dibangun PT. Semen Gresik Tbk. Sehingga pada tenggal 16 Mei 2009, masyarakat Sukolilo-Kayen serentak mengadakan demonstrasi terhadap bupati dan juga pihak PT. Semen Gresik untuk membatalkan pembangunan tersebut.
Ditambah, dengan liberalisasi dalam dunia pendidikan dan biaya yang semakin menjulang tinggi. Mengakibatkan sebagian besar masyarakat hanya dapat bermimpi untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Serta permasalahan buruh yang tak kunjung selesai dalam memperjuangkan nasibnya yang tereksploitasi dalam ranah industri.
Sebenarnya, latar belakang masalah ini yang menyebabkan terperangahnya masyarakat dengan segala slogan-slogan yang digaungkan capres saat ini. Seakan capres hanya mempunyai pandangan subyektif tentang kesejahteraan. Sebagai cita-cita manusia Indonesia.
Kenyataannya? Ya, seperti yang kita rasakan. Sejahtera secara adil dan makmur masih menjadi impian utopis belaka. Pada dasarnya, pemilu saat ini tidak jauh berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Kenapa? Karena pencerdasan politik masyarakat secara umum belum terbangun. Artinya, masyarakat hanya menjadi komoditas partai politik sampai detik ini dan korban dari segala rekayasa politik nasional.
Hal ini pula yang dipertahankan parpol, elit politis dan penguasa untuk membumikan pembodohan secara terstruktur. Bagaimana tidak, makna demokrasi yang seharusnya sebuah keterwakilan hanya menjadi kepemilihan. Pada akhirnya, ketika menjamurnya parpol di Indonesia, menjadi satu ciri demokrasi yang sedang bertransisi.
Padahal, parameter demokrasi tidak bisa diukur dari banyaknya parpol. Namun, demokrasi lebih terkait dengan demos. Jadi, selama demokrasi tanpa demos, seperti yang terjadi di Negara yang subur dan kaya akan alamnya. Maka demokrasi akan menjadi fatamorgana ditengah keringnya kesejahteraan.
Didukung, sebagian pelaku politik dimasa “reformasi-reformasian” telah terkontaminasi dengan budaya “ busuk” zaman erde baru. Anehnya, perilaku yang diimplementasikan oleh elit politik justru budaya “buruk”nya. Seharusnya, budaya “buruk” orba dapat menjadi menjadi landasan refleksi untuk membangun Indonesia kedepan. Bukan menjadi alat untuk mempertahankan oligarki poliik dalam kekuasaan Negara.
Demikianlah nyatanya, ibu pertiwi yang merana. Karena ulah dari sekian perilaku politik yang menyimpang dari demokrasi kerakyatan. Bisa kita bayangkan, hampir enam puluh tahun bangsa ini merdeka dan telah sepuluh kali bangsa ini mengadakan ritual pemilu. Namun, demokrasi ekonomi, sosial dan budaya belum pernah tercipta dan hadir dalam pangkuan ibu pertiwi.
Barangkali penting, untuk Negara yang sedang bingung dan rakyat yang resah. Jika eksistensi parlemen yang dipenuhi oleh anggota-anggota parpol hanya mejadi ruang yang penuh arogansi kekuasaan segelintir manusia. Lihat saja, bagaimana sistem demokrasi Indonesia yang tidak jelas dasarnya. Mulai terbelitnya masalah demokrasi presidensial atau parlementarian. Menambah catatan hitam negara yang terus mengalami metamorfosis “kegagalan” konsep nasional demokrasi kerakyatan.
Artinya, sampai detik ini. Indonesia selalu terpelosok kedalam jurang yang sama. Yaitu terjerat pada lingkaran garis kekuasaan segelintir manusia. Jika memang ini adanya, Ternyata benar yang dikatakan Asrul sani, seniman realisme kreatif. Bahwa Negara Indonesia belum pernah merasakan zaman yang normal. Dengan begitu, masihkah kita percaya ritual pemilu yang akan berlangsung? Jika pesta demokrasi hanya akan menjerumuskan kita kedalam jurang yang sama. Yaitu kemiskinan dan pembodohan struktural bukan kesejahteraan.Capres dalam Toples
Penulis : M. Wahyu Ariyanto
Akhirnya keputusan ada pada para pemilih (Voters), apakah memilih untuk tidak memilih atau memberikan pilihan kepada para tukang obat yang belum dijamin kesaktian obatnya.
Konsep yang diteriakkan oleh Lester adalah konsep pada situasi teriakan revolusi Industri pada waktu itu, dimana upaya untuk menonjolkan tentang pemikiran subjektif serta metode pengklaiman yang memarjinalkan kinerja tim. Konsep pemasaran lama yang dikristalisasikan pada pertengahan 1950-an dengan tendensi pada kesiapan produsen seharusnya sudah tidak terpakai lagi. Tapi entah kenapa konsep pemasaran ini malah menjadi booming dalam pemilu 2009 kali ini dan bersembunyi dibalik Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kampanye, Pasal 81 Undang-Undang (UU) No. 10/2008 tentang pemilu yang menyebutkan bahwa kampanye diselenggarakan dalam bentuk pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, iklan di media massa, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga di tempat umum dan kegiatan lain yang tidak melanggar kampanye dan peraturan perundang-undangan.
Ranah politik yang terkontaminasi oleh metode pemasaran, menganalogikan kampanye capres dan program kerjanya menjadi komoditas “jualan” baru, terungkap vulgar pada pemilu tahun ini. Bendera, baliho serta atribut partai lainnya dimuntahkan ke jalanan untuk merebut hati pemilih. Durabilitas iklan sendiri mempengaruhi preferensi politik dan opini publik, karena banyak pemilih menentukan pilihannya pada hari pemilu (undecided voters). Jadi, banyak pemilih
Iklan politik yang dipakai para parpol mempunyai satu tujuan untuk melahap hati para pemilih. Dalam bukunya Philip Kotler tentang manajemen pemasaran, ia mengatakan ada tiga variabel dalam analisis pesaingnya, yakni pangsa pasar yang berarti pasar sasaran, pangsa ingatan, dimana pemilih dapat mengingat kandidat pilihan, serta pangsa hati, mengenai analisis preferensi pemilih tentang capres. Konsep Philip inilah yang menjadi panduan bagi para parpol untuk mengencarkan pemasaran politik ( Political Marketing ) agar para capres menjadi produk sempurna pilihan rakyat.
Kondisi euforia demokrasi simbol yang berlangsung setiap empat tahun ini menjadi ajang pemborosan uang. Iklan, jargon serta tag line yang diadzankan kepada rakyat selalu berhubungan dengan rencana, hasil dan pengklaiman. Rencana yang mampu merekonstruksi keadaan menjadi lebih baik, lebih sejahtera selalu didengungkan oleh calon presiden yang merasa berdiri di pucuk aspirasi rakyat. Sedangkan berbicara tentang hasil selalu di sebarkan oleh calon yang sedang menjabat sebagai orang nomor satu di negeri ini. Hasil yang baik yang dibungkus dengan data-data yang tidak tahu darimana asalnya menjadi pembius bagi siapapun yang mendengar. Serta yang tidak kalah hebatnya adalah metode pemasaran tentang pengklaiman. Kata klaim sendiri dalam kamus besar
Mungkin para calon presiden tidak kenal dengan Lester maupun Kotler, namun konsep dalam lead menggambarkan kondisi saat ini. Partai politik yang “menjual” calonnya kepada para pemilih mengemas pasangan yang diusung menjadi lampu tembak di tengah gulita.
Political Marketing yang berkembang pesat merupakan bagian dari political personal image dan political personal branding. Political personal Image yang meliputi Personality, Values, Emotions and Competences menjadikan capres sebagai orang sempurna. Penonjolan citra yang dikemas apik menjadi suguhan Parpol pengusung agar capres dapat dipajang dalam etalase pemilihan. Sedangkan Political Personal Branding yang merupakan Image, Asosiasi dan Pengetahuan atas seorang kandidat yang tertanam di benak pemilih yang membantu dalam proses seleksi kandidat.
Sayangnya “kemajuan” pemasaran politik yang melabrak etika tidak dibarengi dengan kesiapan regulator negara ini. Pada akhirnya, kampanye yang dilakukan oleh ketiga calon bisa dikatakan melanggar hanya berdasarkan persepsi. Persepsi yang dibentuk regulator tanpa batasan yang jelas dan tegas. Durasi iklan boleh dibatasi, tapi perputaran uang, donatur serta sistem kampanye yang digunakan para tim sukses, luput dari kacamata Komisi Pemilihan Umum. Tinggal akhirnya keputusan ada pada para pemilih (Voters), apakah memilih untuk tidak memilih atau memberikan pilihan kepada para tukang obat yang belum dijamin kesaktian obatnya.
“Inilah apa yang saya buat, apakah anda ingin membelinya??”-
( Lester Wunderman – Famous Marketer )
Sepadankah Harga Demokrasi Dengan Figur Pemimpin Di Indonesia?
Oleh : Cahyo K. Perdana
MEDIA PUBLICA
Perhelatan akbar panggung demokrasi
Saat di pertemukan dalam satu ring, dengan konsep acara dialogis yaitu debat capres dan cawapres yang difasilitasi oleh KPU terkesan semua baik-baik saja. Audience tidak dapat merasakan emosi yang dihadirkan oleh ketiga pasangan capres/cawapres mengenai visi dan misinya. Padahal debat dilakukan
Triliunan rupiah menjadi nominal yang lumrah untuk membiayai penyelenggaraan pemilu untuk negeri ini. Harga sebuah demokrasi untuk
Pemilihan presiden yang digelar 8 juli 2009. KPU memastikan akan meminimalisir kesalahan-kesalahan yang terjadi pada pileg kemarin. Terkesan agar KPU tidak menjadi kambing hitam lagi dalam kegagalan yang mungkin saja terjadi pada pemilihan presiden kali ini. Kandidat beserta para pendukungnya yang kalah bersiap memboikot KPU dan meminta pemilu ulang bila saja KPU lalai menjalankan tugasnya. Apalagi konflik yang terjadi setelah pemilu berakhir akan semakin mengencangkan urat nadi masyarakat kita yang sangat sensitif akhir-akhir ini. Tidak perduli dengan kasus yang terkait dengan harga diri bangsa. Semua tertuju pada pemilu yang katanya membawa berkah. Sebagian besar elit politisi memanfaatkan pemilu sebagai ajang promosi dan eksistensi dan bagi sebagian masyarkat pemilu adalah sebagai pembawa rezeki.
Apapun persepsi masyarakat mengenai kampanye pilpres ataupun pelaksanaan pemilu adalah suatu kepekaan bagi rakyat kita bahwa pemilu masih dianggap sebagai penyelenggaraan yang penting untuk dilaksanakan. Walaupun banyak terjadi kekisruhan setidaknya dengan memilih pemimpin yang arif dan bijaksana adalah suatu langkah untuk memperbaiki bangsaPEMILU PRESIDEN 2009 ANTARA HARAPAN DAN KEPALSUAN
Jurang krisis ekonomi dunia semakin dalam, kemerosotan ekomoni telah membawa malapetaka besar bagi mayoritas umat manusia di bumi, khususnya kaum buruh dan tani. Penghancuran atas kehidupan klas buruh dan rakyat pekerja terus berlangsung tampa henti. Poros kekuatan imperialis dunia menunjukkan krisis yang semakin kronis. Solusi yang mereka jalankan adalah penyelamatan kepentingan kapitalis monopoli agar tetap berkembang dan di sisi lain menumbalkan kepentingan klas buruh di negerinya sendiri dan rakyat tertindas di negera-negera berkembang (salah satunya Indonesia). PHK massal, meningkatnya pengangguran, merosotnya strandar hidup layak bagi rakyat pekerja, dan seluruh faktor yang semakin memperkuat suramnya masa depan seluruh rakyat pekerja. Krisis kronis ekonomi Indonesia kini makin memprihatinkan. Kekeringan likuiditas yang menyelimuti perbankan nasional karena rendahnya kredit modal pekerja dan investasi telah memukul ekonomi riil dalam posisi yang mengarah pada kebangkrutan dan memperdalam kerusakan ekonomi nasional.
Saat ini Demokrasi Indonesia tetaplah demokrasi yang di dominasi oleh borjuasi komprador, tuan tanah, dan kapital birokrat. Merekalah yang mengendalikan politik uang di Indonesia. Seluruh partai politik adalah bagian dari mesin kekuasaan yang mereka miliki dan sepenuhnya di bawah kendali mereka. Partai-partai milik klas yang berkuasa masih memdominasi baik di eksekutif maupun legislatif, dan memaksa partai kecil untuk tunduk-patuh-tertindas dengan segala konsesi murahan yang menunjukan betapa bangkrutnya partai-partai milik kaum borjuasi tersebut.
Sementara ilusi ekonomi terus ditaburkan oleh kaum reaksioner sembari menipu rakyat dan melupakan bahwa mereka sendiri adalah akar dari krisis di negeri ini. Mereka adalah sumber malapetaka bagi rakyat dan bukan solusi. Dengan janji manis mereka sekarang mulai menebar pesona dengan frase-frase indah seperti ekonomi kerakyatan, memberi kesan seolah-olah anti terhadap neoliberal, dan kalimat tanpa makna tentang kebangkitan nasional tanpa menyentuh aspek rakyat sedikitpun. Mereka seperti terkena amnesia massal tentang apa yang telah mereka perbuat selama kekuasaan tersebut ada di pangkuan mereka. Bukan solusi, bukan realisasi harapan yang sebelumnya dijanjikan tetapi, hanya perampasan atas upah kerja, tanah dan menambah dalam jurang kesengsaraan.
Tradisi anti rakyat yang dijalankan oleh rezim neokolonial terus berlanjut hingga saat ini, berbagai kebijakan yang dilahirkan pada hakikatnaya tidak berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. Kenaikan BBM tetap saja terjadi, PHK terhadap buruh terus saja dilakukan, bahkan lebih besar. UU Penanaman Modal tahun 2007 disahkan, bahkan pendidikan adalah salah satu sektor yang di perdagangkan karena salah satu jenis yang terbuka untuk investasi. Jika pemerintahan sebelumnya mengeluarkan induk undang-undang tentang sistem pendidikan nasional yang kontroversial, maka pemerintahan saat ini melanjutkan dengan peraturan yang lebih menghujam tentang komersialisasi pendidikan yang di manifestasikan dalam UU BHP yang disahkan 17 Desember 2008 lalu.
By : Febri - Presma Retorika
Universitas Pancasila