Kamis, 09 Juli 2009


Ahkirnya, setelah melaksanakan Kongres FPMJ dengan tema "Semangat Tanpa Batas" Pada Jumat-Minggu, 17-19 Juni 2009 bertempat di Villa Mang Yana, Cisarua - BOGOR. dari Kongres ini terbentuklah susunan kepengurusan FPMJ untuk periode 2009-2010.
Dengan terpilihnya wakil-wakil Pers Mahasiswa menjadi Dewan Presidium FPMJ.
Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) yang tergabung dalam FPMJ sampai saat ini adalah :
1. LPM Orientasi - Univ. Mercu Buana
2. LPM Adigama - Univ. Tarumanagara (UNTAR)
3. LPM Kontak - Akademi Pimpinan Perusahaan (APP)
4. LPM Aspirasi - Univ. Pembangunan Nasional (UPN)
5. LPM Suara Hukum - Univ. Trisakti
6. LPM Didaktika - Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
7. LPM Wreta Aksa - Universitas Nasional (UNAS)
8. LPM Media Publica- Univ. Prof. DR. Moestopo (Beragama)
9. LPM Diamma - Univ. Prof. DR. Moestopo (Beragama)
10 LPM Institut - Univ. Islam Negeri Jakarta (UIN)
11 LPM Retorika - Univ. Pancasila
12 LPM Sukma - Universitas Terbuka (UT)
13 LPM Industria - Sekolah Tinggi Manajemen Industri (STMI)

8 Juli 2009, Bukan Akhir dari Pesta Demokrasi

Oleh : Nur Rachma – ADIGAMA

Mahasiswa Fakultas Hukum – Untar



Terpilihnya seorang Presiden dan Wakil Presiden bukanlah akhir dari partsipasi rakyat dalam menentukan nasibnya di negeri sendiri. Karma itu, BANGUN! BANGKIT! Jangan terbuai dengan ilusi dalam pesta singkat ini. Jangan biarkan mereka yang kita pilih justru asyik berpesta sendiri dan tanpa control selama 5 tahun kedepan.

Surat suara sudah kita buka, salah satu dari tiga pasang kandidak Capres dan Cawapres yang menurut pribadi kita pantas untuk memimpin bangsa ini telah kta tentukan. 8 Juli 2009 adalah hari penentuan. Dimana tangan-tangan kita sendirilah yang bertanggung jawab atas pilihan yang sudah kita tentukan. Harapan rakyat untuk perubahan nasibnya kedepan sudah di patrikan dalam contrengan surat suara dan bubuhan tinta biru di salah satu jari tangan. Namun, apakah hal ini menandakan bahwa pemilu telah usai? Dan kewajiban kita sebagai rakyat untuk mengawal jalannya demoktasi sampai pada penegakan yang hakiki telah berakhir?

Tentunya masih segar dalam ingatan kita, sebelum moment penentuan nasib bangsa itu di perhelatkan dalam satu hari besar. 8 Juli 2009 yaitu hari dimana sebagian besar rakyat Indonesia telah menggantungkan harapan dan nasibnya kedepan. Kata “menggantungkan harapan & nasib” untuk menuju lebih baik itulah yang akhirnya dimanfaatkan oleh masng-masing Capres dan Cawapres dalam kampanye pada panggung politiknya. Memainkan segi sentimental primordial dan memanfaatkan kebingungan public untuk meluluhkan hati rakyat. Seperti layaknya tabib hebat semua kanditat mengklime punya obat mujarab untuk semua penyakit bangsa. Kata-kata yang diucapkan mereka selalu mengandung gula-gula, tak jarang mereka juga menabur ilusi pencapaian kesejahteraan yang terlalu muluk dan mengawang-awang kepada rakyat, seolah pemilu kali in akan membuat Sang pemenang berkuasa begitu lama dan merasa bangga karma berhasil lebih unggul dari yang lainnya, padahal siapapun Presiden dan Wakil Presiden terpilih nantinya mereka akan dibebani tugas yang sama, menghadapi lambat dan ruwetnya birokrasi yang sama, masih ditambah dengan beban devisit anggaran yang kian meroket dari tahun ke tahun, utang yang terus menggunung, laju pertumbuhan penduduk yang mulai merisaukan di tengah daya dukung alam yang terus menyusus, cemakin canggihnya penyebaran penyakit yang mematikan, ditambah lagi pembenahan pondasi hokum yang semakin bobrok dan sebagainya. Dapatkah Pesiden dan Wapres terpilih nati memberikan solusi dari semua keruwetan itu?

Kini Bangsa Indonesia adalah ibarat sebuah kapal pesiar besar yang hamper karam dengan 240 juta jiwa awak kapal didalamnya. Mampukah Presiden terpilih menjadi nahkoda yang bias menstabilkan kembali keadaan kapal? Dan selanjutnya akan dibawa kemana arah kemudi kapal tersebut? Jawabannya sudah barang tentuk “tidak gampang” . bahkan Penulis sendiri pun menyangsikan semua janj-janji manis pada saat kampanye waktu itu akan terealisasikan secara riil kepada rakyat. Jika dilihat dari background sebelumnya ketiga Capres dan Cawapres dalam Pemilu 2009 ini. Mereka masing-masing bukanlah sosok yang baru sebagai pemimpin. Bahkan diantara mereka ada yang sebelumnya pun sudah pernah berkesempatan duduk di kursi yang sekarang mereka sedang perebutkan. Seharusnya pada kesempatan itu mereka bias berbuat banyak untuk rakyat. Namun, apa yang mereka berikan…??? Kesejahteraan rakyat? Lapangan kerja yang luas? Penegakan hukum yang benar-benar adil? Mengapa sampai detik in masih banyak bayi yang meninggal karena kekurangan gizi/ gizi buruk? Banyak orang tua yang tega menghabisi nyawa anak kandungnya dan dilanjutkan dengan menghabisi nyawanya sendiri hanya karena untuk menghindari kepusingan akibat beban hidup & beban ekonomi yang semakin berat! Lantas apa pula yang akan membuat mereka berbeda dalam lima tahun kedepan???

Semoga rakyat semakin cerdas dalam menilai, hari pencontrengan memang sudah berlalu. Siapapun figure pemimpin bangsa Indonesia kedepan itulah yang seharusnya sama-sama kita hormati, Kita dukung kepemimpinannya, dan kita awasi kinerjanya agar kinerja tersebut jagan sampai jalan ditempat atau malah justru mundur kebelakang. Inilah wujud dari sebuah kata demokrasi sesungguhnya. Peran kita jagan sampai berhenti hanya sampai pencontrengan atau setelah suara selesai dihitung oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) karena terpilihnya seorang Presiden dan Wakil Presiden bukanlah akhir dari partsipasi rakyat dalam menentukan nasibnya di negeri sendiri. Karma itu, BANGUN! BANGKIT! Jangan terbuai dengan ilusi dalam pesta singkat ini. Jangan biarkan mereka yang kita pilih justru asyik berpesta sendiri dan tanpa control selama 5 tahun kedepan.

Untuk itu, Penulis menularkan “Semangat Tanpa Batas” dari FPMJ (Forum Pers Mahasiswa Jakarta) kepada para pembaca. Mari satukan rakyat untuk bersama menciptakan keberhasilan demokrasi sesungguhnya karena kunci keberhasilan dari demokrasi sendiri itu sangat tergantung pada sejauhmana warga Negara memiliki kemauan untuk melibatkan diri dalam kepentingan kesejahteraan public. (Thomas Mayer, Social and libertarian democracy – 2005).

Mozaik Hitam Pesta Demokrasi

Pemilu 2009 tak berbeda jauh dengan pemilu sebelumnya. Harapan akan kesejahteraan rakyat hanya menjadi ilusi nihil.

Penulis : Hendro

DIDAKTIKA - UNJ

Deretan spanduk calon presiden dan wakilnya terpampang disetiap persimpangan jalan raya dan protokol. Segala upaya untuk memobilisir rakyat tumpah dalam gerak taktisnya. Apalagi setiap orasi politiknya saat kampanye. Salah satunya dengan mengusung janji yang berbasis kerakyatan, anti-Neoliberalisme. Sampai yang mengkritik kebijakan pemerintah saat ini yang kurang cepat dalam memutuskan kebijakan.

Saling menjatuhkan terhadap kandidat capres menjadi salah satu ciri khas pemilu 2009. Ditambah, kelihaian mereka dalam membangun opini publik dengan simbolitas slogan yang mereka usung. Seperti “ Pro rakyatdari Mega-Pro, “lanjutkandari pihak SBY-Boediono, sertalebih cepat lebih baikdari JK-Win.

Maka tidak heran, jika sebagian masyarakat terperangah dengan slogan-slogan yang diperlihatkan melalui media cetak dan media elektronik. Terkejut atas perilaku capres yang mempunyai hobi pengakuan atau pencitraan. Sebagai citra superior salah satu dari mereka yang paling baik dan profesional, serta yang dekat dengan rakyat. Walau hakikatnya, rakyat belum berkuasa.

Rakyat kuasa”. Sebuah harapan dasar bagi rakyat Indonesia. Harapan yang telah hadir sekian lama di dalam pikiran manusia Indonesia. Sejak tercetusnya revolusi kemerdekaan yang mulai diambil alih rezim orde lama. Yang mengusung tema demokrasi terpimpin tipe Soekarno. Sampai rezim orde lama berganti dengan orde baru dengan gaya represifitas yang tinggi. Rakyat belum dapat berkuasa dengan segala hak dan kewajiban diatas negara yang kaya konstitusi hukum.

Buktinya, sampai sepuluh tahun pasca reformasi. Pengangguran terus bertambah. Belum lagi, perampasan lahan petani yang terjadi. Sebatas untuk merubah desa menjadi kota seperti di daerah Suklilo-Kayen, Pati, Jawa tengah yang lahannya akan dibangun PT. Semen Gresik Tbk. Sehingga pada tenggal 16 Mei 2009, masyarakat Sukolilo-Kayen serentak mengadakan demonstrasi terhadap bupati dan juga pihak PT. Semen Gresik untuk membatalkan pembangunan tersebut.

Ditambah, dengan liberalisasi dalam dunia pendidikan dan biaya yang semakin menjulang tinggi. Mengakibatkan sebagian besar masyarakat hanya dapat bermimpi untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Serta permasalahan buruh yang tak kunjung selesai dalam memperjuangkan nasibnya yang tereksploitasi dalam ranah industri.

Sebenarnya, latar belakang masalah ini yang menyebabkan terperangahnya masyarakat dengan segala slogan-slogan yang digaungkan capres saat ini. Seakan capres hanya mempunyai pandangan subyektif tentang kesejahteraan. Sebagai cita-cita manusia Indonesia.

Kenyataannya? Ya, seperti yang kita rasakan. Sejahtera secara adil dan makmur masih menjadi impian utopis belaka. Pada dasarnya, pemilu saat ini tidak jauh berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Kenapa? Karena pencerdasan politik masyarakat secara umum belum terbangun. Artinya, masyarakat hanya menjadi komoditas partai politik sampai detik ini dan korban dari segala rekayasa politik nasional.

Hal ini pula yang dipertahankan parpol, elit politis dan penguasa untuk membumikan pembodohan secara terstruktur. Bagaimana tidak, makna demokrasi yang seharusnya sebuah keterwakilan hanya menjadi kepemilihan. Pada akhirnya, ketika menjamurnya parpol di Indonesia, menjadi satu ciri demokrasi yang sedang bertransisi.

Padahal, parameter demokrasi tidak bisa diukur dari banyaknya parpol. Namun, demokrasi lebih terkait dengan demos. Jadi, selama demokrasi tanpa demos, seperti yang terjadi di Negara yang subur dan kaya akan alamnya. Maka demokrasi akan menjadi fatamorgana ditengah keringnya kesejahteraan.

Didukung, sebagian pelaku politik dimasareformasi-reformasiantelah terkontaminasi dengan budayabusukzaman erde baru. Anehnya, perilaku yang diimplementasikan oleh elit politik justru budayaburuknya. Seharusnya, budayaburukorba dapat menjadi menjadi landasan refleksi untuk membangun Indonesia kedepan. Bukan menjadi alat untuk mempertahankan oligarki poliik dalam kekuasaan Negara.

Demikianlah nyatanya, ibu pertiwi yang merana. Karena ulah dari sekian perilaku politik yang menyimpang dari demokrasi kerakyatan. Bisa kita bayangkan, hampir enam puluh tahun bangsa ini merdeka dan telah sepuluh kali bangsa ini mengadakan ritual pemilu. Namun, demokrasi ekonomi, sosial dan budaya belum pernah tercipta dan hadir dalam pangkuan ibu pertiwi.

Barangkali penting, untuk Negara yang sedang bingung dan rakyat yang resah. Jika eksistensi parlemen yang dipenuhi oleh anggota-anggota parpol hanya mejadi ruang yang penuh arogansi kekuasaan segelintir manusia. Lihat saja, bagaimana sistem demokrasi Indonesia yang tidak jelas dasarnya. Mulai terbelitnya masalah demokrasi presidensial atau parlementarian. Menambah catatan hitam negara yang terus mengalami metamorfosiskegagalankonsep nasional demokrasi kerakyatan.

Artinya, sampai detik ini. Indonesia selalu terpelosok kedalam jurang yang sama. Yaitu terjerat pada lingkaran garis kekuasaan segelintir manusia. Jika memang ini adanya, Ternyata benar yang dikatakan Asrul sani, seniman realisme kreatif. Bahwa Negara Indonesia belum pernah merasakan zaman yang normal. Dengan begitu, masihkah kita percaya ritual pemilu yang akan berlangsung? Jika pesta demokrasi hanya akan menjerumuskan kita kedalam jurang yang sama. Yaitu kemiskinan dan pembodohan struktural bukan kesejahteraan.

Capres dalam Toples

Penulis : M. Wahyu Ariyanto

Mahasiswa Universitas Mercu Buana

Akhirnya keputusan ada pada para pemilih (Voters), apakah memilih untuk tidak memilih atau memberikan pilihan kepada para tukang obat yang belum dijamin kesaktian obatnya.



Konsep yang diteriakkan oleh Lester adalah konsep pada situasi teriakan revolusi Industri pada waktu itu, dimana upaya untuk menonjolkan tentang pemikiran subjektif serta metode pengklaiman yang memarjinalkan kinerja tim. Konsep pemasaran lama yang dikristalisasikan pada pertengahan 1950-an dengan tendensi pada kesiapan produsen seharusnya sudah tidak terpakai lagi. Tapi entah kenapa konsep pemasaran ini malah menjadi booming dalam pemilu 2009 kali ini dan bersembunyi dibalik Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kampanye, Pasal 81 Undang-Undang (UU) No. 10/2008 tentang pemilu yang menyebutkan bahwa kampanye diselenggarakan dalam bentuk pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, iklan di media massa, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga di tempat umum dan kegiatan lain yang tidak melanggar kampanye dan peraturan perundang-undangan.

Ranah politik yang terkontaminasi oleh metode pemasaran, menganalogikan kampanye capres dan program kerjanya menjadi komoditas “jualan” baru, terungkap vulgar pada pemilu tahun ini. Bendera, baliho serta atribut partai lainnya dimuntahkan ke jalanan untuk merebut hati pemilih. Durabilitas iklan sendiri mempengaruhi preferensi politik dan opini publik, karena banyak pemilih menentukan pilihannya pada hari pemilu (undecided voters). Jadi, banyak pemilih Indonesia yang saat ini belum mempunyai pilihan pasti. Selain itu, iklan politik juga penting dalam persaingan karena jumlah swing voters di Indonesia cukup besar. Swing voters adalah pemilih yang berganti-ganti pilihan politiknya dari satu pemilu ke pemilu lain. Undecided dan swing voters ini yang menjadi target iklan politik.

Iklan politik yang dipakai para parpol mempunyai satu tujuan untuk melahap hati para pemilih. Dalam bukunya Philip Kotler tentang manajemen pemasaran, ia mengatakan ada tiga variabel dalam analisis pesaingnya, yakni pangsa pasar yang berarti pasar sasaran, pangsa ingatan, dimana pemilih dapat mengingat kandidat pilihan, serta pangsa hati, mengenai analisis preferensi pemilih tentang capres. Konsep Philip inilah yang menjadi panduan bagi para parpol untuk mengencarkan pemasaran politik ( Political Marketing ) agar para capres menjadi produk sempurna pilihan rakyat.

Kondisi euforia demokrasi simbol yang berlangsung setiap empat tahun ini menjadi ajang pemborosan uang. Iklan, jargon serta tag line yang diadzankan kepada rakyat selalu berhubungan dengan rencana, hasil dan pengklaiman. Rencana yang mampu merekonstruksi keadaan menjadi lebih baik, lebih sejahtera selalu didengungkan oleh calon presiden yang merasa berdiri di pucuk aspirasi rakyat. Sedangkan berbicara tentang hasil selalu di sebarkan oleh calon yang sedang menjabat sebagai orang nomor satu di negeri ini. Hasil yang baik yang dibungkus dengan data-data yang tidak tahu darimana asalnya menjadi pembius bagi siapapun yang mendengar. Serta yang tidak kalah hebatnya adalah metode pemasaran tentang pengklaiman. Kata klaim sendiri dalam kamus besar Indonesia berarti tuntutan pengakuan atas suatu fakta bahwa seseorang berhak atas sesuatu. Konsep yang dijalankan merupakan metode klasik tentang persaingan dalam satu selimut.

Mungkin para calon presiden tidak kenal dengan Lester maupun Kotler, namun konsep dalam lead menggambarkan kondisi saat ini. Partai politik yang “menjual” calonnya kepada para pemilih mengemas pasangan yang diusung menjadi lampu tembak di tengah gulita. Para calon mengunjungi seluruh daerah pemilihan sejak dini hingga larut malam. Berjabat tangan, mencium bayi, bertemu dengan para pendonor dan menyampaikan pidato menjadi rutinitas baru bagi calon presiden. Tak terhitung berapa jumlah biaya yang dikeluarkan untuk memoles diri menjadi pasangan ideal.

Political Marketing yang berkembang pesat merupakan bagian dari political personal image dan political personal branding. Political personal Image yang meliputi Personality, Values, Emotions and Competences menjadikan capres sebagai orang sempurna. Penonjolan citra yang dikemas apik menjadi suguhan Parpol pengusung agar capres dapat dipajang dalam etalase pemilihan. Sedangkan Political Personal Branding yang merupakan Image, Asosiasi dan Pengetahuan atas seorang kandidat yang tertanam di benak pemilih yang membantu dalam proses seleksi kandidat.

Sayangnya “kemajuan” pemasaran politik yang melabrak etika tidak dibarengi dengan kesiapan regulator negara ini. Pada akhirnya, kampanye yang dilakukan oleh ketiga calon bisa dikatakan melanggar hanya berdasarkan persepsi. Persepsi yang dibentuk regulator tanpa batasan yang jelas dan tegas. Durasi iklan boleh dibatasi, tapi perputaran uang, donatur serta sistem kampanye yang digunakan para tim sukses, luput dari kacamata Komisi Pemilihan Umum. Tinggal akhirnya keputusan ada pada para pemilih (Voters), apakah memilih untuk tidak memilih atau memberikan pilihan kepada para tukang obat yang belum dijamin kesaktian obatnya.

“Inilah apa yang saya buat, apakah anda ingin membelinya??”-

( Lester Wunderman – Famous Marketer )

Sepadankah Harga Demokrasi Dengan Figur Pemimpin Di Indonesia?

Oleh : Cahyo K. Perdana
MEDIA PUBLICA

Perhelatan akbar panggung demokrasi Indonesia saat ini kian panas saja. Para calon elit penguasa berlomba mengatur strategi guna merebut simpati masyarakat. Gencarnya pemberitaan di media mengenai kampanye para kandidat dan segala tetek-bengeknya membuat publik bingung. Saling serang, saling mengklaim di pemberitaan sudah menjadi asupan rutin bagi para informan. Melempar isu untuk menjatuhkan lawan lewat media, melalui masing-masing tim suksesnya menjadi suatu kegemaran dalam meyakinkan publik. Namun apakah cara mereka berkampanye terkesan elegan? Biarlah publik yang menilai. Rakyat juga sudah mulai kritis walaupun parpol jarang yang memberikan pendidikan politik untuk mereka.

Saat di pertemukan dalam satu ring, dengan konsep acara dialogis yaitu debat capres dan cawapres yang difasilitasi oleh KPU terkesan semua baik-baik saja. Audience tidak dapat merasakan emosi yang dihadirkan oleh ketiga pasangan capres/cawapres mengenai visi dan misinya. Padahal debat dilakukan lima kali. Yang kesemuanya saling mendukung dan memberikan jawaban lanjutan ketika seorang moderator bertanya ke kandidat lainnya. Seperti sudah ada jalan ceritanya yang happy ending. Hal ini yang membuat rakyat bertanya-tanya dan bersikap acuh dengan pemilu tahun ini.

Triliunan rupiah menjadi nominal yang lumrah untuk membiayai penyelenggaraan pemilu untuk negeri ini. Harga sebuah demokrasi untuk Indonesia begitu sangat mahal. Sehingga timbul pertanyaan nyeleneh, mengapa Indonesia tidak dipimpin saja oleh seorang raja. Jadi tidak perlu pusing-pusing mengeluarkan biaya untuk penyelenggaraan pemilu semacam ini. Berganti pemimpin, toh berganti juga konsep pengelola kepemerintahan. Tidak heran semakin tua bangsa ini malah semakin terbelakang pasca kemerdekaan. Buruknya mental pemimpin bangsa sudah terlihat dari setiap pergantian presiden. Mulai dari Soekarno melepas jabatannya dan di ambil alih oleh Soeharto. Adegan bersalaman di media jarang sekali terlihat (mungkin saja media saat itu terbatas-red). Hingga Megawati dan SBY yang terkesan dingin. Mengagung-agungkan demokrasi kepada masyarakat namun kenyataan di lapangan, pribadi dari setiap pemimpin kita tidak berjiwa demokrasi atau bersikap legowo.

Pemilihan presiden yang digelar 8 juli 2009. KPU memastikan akan meminimalisir kesalahan-kesalahan yang terjadi pada pileg kemarin. Terkesan agar KPU tidak menjadi kambing hitam lagi dalam kegagalan yang mungkin saja terjadi pada pemilihan presiden kali ini. Kandidat beserta para pendukungnya yang kalah bersiap memboikot KPU dan meminta pemilu ulang bila saja KPU lalai menjalankan tugasnya. Apalagi konflik yang terjadi setelah pemilu berakhir akan semakin mengencangkan urat nadi masyarakat kita yang sangat sensitif akhir-akhir ini. Tidak perduli dengan kasus yang terkait dengan harga diri bangsa. Semua tertuju pada pemilu yang katanya membawa berkah. Sebagian besar elit politisi memanfaatkan pemilu sebagai ajang promosi dan eksistensi dan bagi sebagian masyarkat pemilu adalah sebagai pembawa rezeki.

Apapun persepsi masyarakat mengenai kampanye pilpres ataupun pelaksanaan pemilu adalah suatu kepekaan bagi rakyat kita bahwa pemilu masih dianggap sebagai penyelenggaraan yang penting untuk dilaksanakan. Walaupun banyak terjadi kekisruhan setidaknya dengan memilih pemimpin yang arif dan bijaksana adalah suatu langkah untuk memperbaiki bangsa Indonesia yang semakin terpuruk

PEMILU PRESIDEN 2009 ANTARA HARAPAN DAN KEPALSUAN

Jurang krisis ekonomi dunia semakin dalam, kemerosotan ekomoni telah membawa malapetaka besar bagi mayoritas umat manusia di bumi, khususnya kaum buruh dan tani. Penghancuran atas kehidupan klas buruh dan rakyat pekerja terus berlangsung tampa henti. Poros kekuatan imperialis dunia menunjukkan krisis yang semakin kronis. Solusi yang mereka jalankan adalah penyelamatan kepentingan kapitalis monopoli agar tetap berkembang dan di sisi lain menumbalkan kepentingan klas buruh di negerinya sendiri dan rakyat tertindas di negera-negera berkembang (salah satunya Indonesia). PHK massal, meningkatnya pengangguran, merosotnya strandar hidup layak bagi rakyat pekerja, dan seluruh faktor yang semakin memperkuat suramnya masa depan seluruh rakyat pekerja. Krisis kronis ekonomi Indonesia kini makin memprihatinkan. Kekeringan likuiditas yang menyelimuti perbankan nasional karena rendahnya kredit modal pekerja dan investasi telah memukul ekonomi riil dalam posisi yang mengarah pada kebangkrutan dan memperdalam kerusakan ekonomi nasional.

Saat ini Demokrasi Indonesia tetaplah demokrasi yang di dominasi oleh borjuasi komprador, tuan tanah, dan kapital birokrat. Merekalah yang mengendalikan politik uang di Indonesia. Seluruh partai politik adalah bagian dari mesin kekuasaan yang mereka miliki dan sepenuhnya di bawah kendali mereka. Partai-partai milik klas yang berkuasa masih memdominasi baik di eksekutif maupun legislatif, dan memaksa partai kecil untuk tunduk-patuh-tertindas dengan segala konsesi murahan yang menunjukan betapa bangkrutnya partai-partai milik kaum borjuasi tersebut.

Sementara ilusi ekonomi terus ditaburkan oleh kaum reaksioner sembari menipu rakyat dan melupakan bahwa mereka sendiri adalah akar dari krisis di negeri ini. Mereka adalah sumber malapetaka bagi rakyat dan bukan solusi. Dengan janji manis mereka sekarang mulai menebar pesona dengan frase-frase indah seperti ekonomi kerakyatan, memberi kesan seolah-olah anti terhadap neoliberal, dan kalimat tanpa makna tentang kebangkitan nasional tanpa menyentuh aspek rakyat sedikitpun. Mereka seperti terkena amnesia massal tentang apa yang telah mereka perbuat selama kekuasaan tersebut ada di pangkuan mereka. Bukan solusi, bukan realisasi harapan yang sebelumnya dijanjikan tetapi, hanya perampasan atas upah kerja, tanah dan menambah dalam jurang kesengsaraan.

Tradisi anti rakyat yang dijalankan oleh rezim neokolonial terus berlanjut hingga saat ini, berbagai kebijakan yang dilahirkan pada hakikatnaya tidak berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. Kenaikan BBM tetap saja terjadi, PHK terhadap buruh terus saja dilakukan, bahkan lebih besar. UU Penanaman Modal tahun 2007 disahkan, bahkan pendidikan adalah salah satu sektor yang di perdagangkan karena salah satu jenis yang terbuka untuk investasi. Jika pemerintahan sebelumnya mengeluarkan induk undang-undang tentang sistem pendidikan nasional yang kontroversial, maka pemerintahan saat ini melanjutkan dengan peraturan yang lebih menghujam tentang komersialisasi pendidikan yang di manifestasikan dalam UU BHP yang disahkan 17 Desember 2008 lalu.

Sehingga tidak menjadi berlebihan ketika janji kampanye yang dilontarkan oleh capres dan cawapres saat ini tidak lebih dari jualan kecap manis yang berujung pada kenyataan yang begitu pahit untuk rakyat. Hal ini mengingatkan bahwa dalam 10 kali pemilu dilakukan oleh bangsa Indonesia tidak sekalipun mampu mengeluarkan rakyat Indonesia dari jurang kemelaratan. Sehingga sudah menjadi keharusan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk meletakkan secara objektif peranan pemilu. Untuk itu, kita sebagai rakyat, harus lebih cerdas menilai mana harapan mana kepasluan yang di umbar.

By : Febri - Presma Retorika
Universitas Pancasila