Kamis, 09 Juli 2009

Mozaik Hitam Pesta Demokrasi

Pemilu 2009 tak berbeda jauh dengan pemilu sebelumnya. Harapan akan kesejahteraan rakyat hanya menjadi ilusi nihil.

Penulis : Hendro

DIDAKTIKA - UNJ

Deretan spanduk calon presiden dan wakilnya terpampang disetiap persimpangan jalan raya dan protokol. Segala upaya untuk memobilisir rakyat tumpah dalam gerak taktisnya. Apalagi setiap orasi politiknya saat kampanye. Salah satunya dengan mengusung janji yang berbasis kerakyatan, anti-Neoliberalisme. Sampai yang mengkritik kebijakan pemerintah saat ini yang kurang cepat dalam memutuskan kebijakan.

Saling menjatuhkan terhadap kandidat capres menjadi salah satu ciri khas pemilu 2009. Ditambah, kelihaian mereka dalam membangun opini publik dengan simbolitas slogan yang mereka usung. Seperti “ Pro rakyatdari Mega-Pro, “lanjutkandari pihak SBY-Boediono, sertalebih cepat lebih baikdari JK-Win.

Maka tidak heran, jika sebagian masyarakat terperangah dengan slogan-slogan yang diperlihatkan melalui media cetak dan media elektronik. Terkejut atas perilaku capres yang mempunyai hobi pengakuan atau pencitraan. Sebagai citra superior salah satu dari mereka yang paling baik dan profesional, serta yang dekat dengan rakyat. Walau hakikatnya, rakyat belum berkuasa.

Rakyat kuasa”. Sebuah harapan dasar bagi rakyat Indonesia. Harapan yang telah hadir sekian lama di dalam pikiran manusia Indonesia. Sejak tercetusnya revolusi kemerdekaan yang mulai diambil alih rezim orde lama. Yang mengusung tema demokrasi terpimpin tipe Soekarno. Sampai rezim orde lama berganti dengan orde baru dengan gaya represifitas yang tinggi. Rakyat belum dapat berkuasa dengan segala hak dan kewajiban diatas negara yang kaya konstitusi hukum.

Buktinya, sampai sepuluh tahun pasca reformasi. Pengangguran terus bertambah. Belum lagi, perampasan lahan petani yang terjadi. Sebatas untuk merubah desa menjadi kota seperti di daerah Suklilo-Kayen, Pati, Jawa tengah yang lahannya akan dibangun PT. Semen Gresik Tbk. Sehingga pada tenggal 16 Mei 2009, masyarakat Sukolilo-Kayen serentak mengadakan demonstrasi terhadap bupati dan juga pihak PT. Semen Gresik untuk membatalkan pembangunan tersebut.

Ditambah, dengan liberalisasi dalam dunia pendidikan dan biaya yang semakin menjulang tinggi. Mengakibatkan sebagian besar masyarakat hanya dapat bermimpi untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Serta permasalahan buruh yang tak kunjung selesai dalam memperjuangkan nasibnya yang tereksploitasi dalam ranah industri.

Sebenarnya, latar belakang masalah ini yang menyebabkan terperangahnya masyarakat dengan segala slogan-slogan yang digaungkan capres saat ini. Seakan capres hanya mempunyai pandangan subyektif tentang kesejahteraan. Sebagai cita-cita manusia Indonesia.

Kenyataannya? Ya, seperti yang kita rasakan. Sejahtera secara adil dan makmur masih menjadi impian utopis belaka. Pada dasarnya, pemilu saat ini tidak jauh berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Kenapa? Karena pencerdasan politik masyarakat secara umum belum terbangun. Artinya, masyarakat hanya menjadi komoditas partai politik sampai detik ini dan korban dari segala rekayasa politik nasional.

Hal ini pula yang dipertahankan parpol, elit politis dan penguasa untuk membumikan pembodohan secara terstruktur. Bagaimana tidak, makna demokrasi yang seharusnya sebuah keterwakilan hanya menjadi kepemilihan. Pada akhirnya, ketika menjamurnya parpol di Indonesia, menjadi satu ciri demokrasi yang sedang bertransisi.

Padahal, parameter demokrasi tidak bisa diukur dari banyaknya parpol. Namun, demokrasi lebih terkait dengan demos. Jadi, selama demokrasi tanpa demos, seperti yang terjadi di Negara yang subur dan kaya akan alamnya. Maka demokrasi akan menjadi fatamorgana ditengah keringnya kesejahteraan.

Didukung, sebagian pelaku politik dimasareformasi-reformasiantelah terkontaminasi dengan budayabusukzaman erde baru. Anehnya, perilaku yang diimplementasikan oleh elit politik justru budayaburuknya. Seharusnya, budayaburukorba dapat menjadi menjadi landasan refleksi untuk membangun Indonesia kedepan. Bukan menjadi alat untuk mempertahankan oligarki poliik dalam kekuasaan Negara.

Demikianlah nyatanya, ibu pertiwi yang merana. Karena ulah dari sekian perilaku politik yang menyimpang dari demokrasi kerakyatan. Bisa kita bayangkan, hampir enam puluh tahun bangsa ini merdeka dan telah sepuluh kali bangsa ini mengadakan ritual pemilu. Namun, demokrasi ekonomi, sosial dan budaya belum pernah tercipta dan hadir dalam pangkuan ibu pertiwi.

Barangkali penting, untuk Negara yang sedang bingung dan rakyat yang resah. Jika eksistensi parlemen yang dipenuhi oleh anggota-anggota parpol hanya mejadi ruang yang penuh arogansi kekuasaan segelintir manusia. Lihat saja, bagaimana sistem demokrasi Indonesia yang tidak jelas dasarnya. Mulai terbelitnya masalah demokrasi presidensial atau parlementarian. Menambah catatan hitam negara yang terus mengalami metamorfosiskegagalankonsep nasional demokrasi kerakyatan.

Artinya, sampai detik ini. Indonesia selalu terpelosok kedalam jurang yang sama. Yaitu terjerat pada lingkaran garis kekuasaan segelintir manusia. Jika memang ini adanya, Ternyata benar yang dikatakan Asrul sani, seniman realisme kreatif. Bahwa Negara Indonesia belum pernah merasakan zaman yang normal. Dengan begitu, masihkah kita percaya ritual pemilu yang akan berlangsung? Jika pesta demokrasi hanya akan menjerumuskan kita kedalam jurang yang sama. Yaitu kemiskinan dan pembodohan struktural bukan kesejahteraan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar