Sabtu, 26 Desember 2009

Di antara Stasiun Kesadaran dan Rel Penindasan

Oleh : Khafi - didaktika


Sejak abad modern digongkan. kereta, rel dan stasiun ialah saksi dari bermacam bentuk penaklukan, pemaksaan dan ketertindasan orang-orang kecil.


Sore itu terasa dingin. Jalan menuju stasiun cukup jauh, cipratan gerimis membuat liat langkah kaki, perut kembali minta amunisi. Syukur, akhirnya pintu stasiun terlihat, sambil melintasi rel, saya harus waspada. Tengok ke belakang harus seseringkali dilakukan, takut tiba-tiba ada kereta yang melintas. Maklum, bukan jalur resmi.
Sampai di pintu masuk stasiun, sesigap mungkin saya melompati anak tangga, agar menghindar petugas pemeriksa karcis. Lolos. Selekas saya mencari makanan, teh manis dan rokok. Untuk semua itu tidaklah sulit, banyak lapak berbaris yang isinya pedagang buah, barang-barang bekas, VCD bajakan. Yang dicari pun gampang, pedagang makanan. Situasi saat itu agaknya akurat, memesan segelas teh manis sekaligus mencicipi dua buah gorengan dan satu kue donat, gratis tempat duduk. Sedangkan yang lain belum tentu duduk khidmat menunggu kedatangan kereta. Pasalnya, di stasiun telah berjubel manusia, sembari berdiri saling merapat, mereka kadang kala mengumpat keterlambatan jadual kereta. Bangku tunggu sudah penuh. Dari Depok Lama sampai Citayam tak ada sinyal pengaman, alasan petugas, kereta jadi bertumpukan, macet dan telat. Sudah lazim. Bagi pedagang, ini adalah berkah. Banyak orang di stasiun, berarti peluang dagangan habis kian terbuka.


Diskusi ala warkop dimulai, amat merakyat. Kepulan asap rokok setelah ditarik keluar dari paru-paru, kini tengah menemani dingin dan kesuraman langit. Mereka, diam-diam menguping, tatkala si pedagang bercengkrama asik dengan seorang bapak yang dari logat bahasa, Ia pastinya lama bermukim di Jakarta bagian pusat, mewakili Benyamin. S bukan Bokir. Dari isi obrolan serius hingga gurauan dan balik lagi ke serius, diskusi itu semakin menarik. Tak berpola, juga tak memiliki bahasa kode seperti rekaman-rekaman yang diputar KPK. Semua gamblang dan polos, walau sesekali coba saling menggurui. Menyaksikannya, jadi teringat pendapat Jurgen Habermas mengenai komunikasi ideal. Sebuah interaksi sosial demi satu konsensus yang dijalankan atas pengakuan derajat dan hak yang sama. Mungkin, ini bentuk yang diinginkan. Hubungan ekonomi terlupakan, strata sosial terhapuskan, saling peduli dan mengisi menjadi silaturahmi, Konsesnsus pun tercapai. Jika dicatatkan, sebagaimana seorang notulen, dengan keadaan sekarang, baik yang menimpa si pedagang maupun si konsumen tadi, semestinya para pejabat negara, institusi negara bahkan hukum negara layak bertanggungjawab. Bermula dari perkataan si pedagang, “Sekarang dagang aja susah, di stasiun sudah bayar pungli, itupun gak jaminan bakal terhindar dari penertiban”. Memang, sambut si konsumen, sekarang jadi serba salah buat orang kecil. “Kalau dipikir, kan lebih baik berdagang, hasilnya halal,” gerutu si konsumen lagi. Pemerintah, seakan dua pihak itu menyetujui, belum bisa melihat bahwa kesempatan kerja kian kecil, pengangguran membludak, lebih baik berdagang ketimbang berbuat kriminal. Padahal menurut si pedagang tadi, dari berdagang ia mampu membangun rumah dan membiayai hidup seorang istri dan tiga orang anak plus satu mertua walaupun dengan hidup pas-pasan. Si bapak konsumen lantas meneguk segelas kopi miliknya dan mengelengkan kepala sambil berkata, percuma pejabat masa kampanye dulu hanya banyak berjanji. “Tapi setelah jabatan diraih, mana buktinya?” tanyanya yang entah kepada siapa, hanya saya dan si pedagang yang ada di sana. Tanpa arahan dan kepentingan siapapun, ia membuka cerita lainnya. Kali ini, persis yang sudah-sudah, berisi gugatan. Dengan senyum kekecewaan, ia mulai membedah keberpihakan politik, ke mana larinya koruptor kakap, bila orang kecil dikejar dan dibui akibat berdagang dan mencuri seharga perut. Katanya, 6,7 Triliun dana Bank Century merupakan bukti, pemerintah tidak berpihak, perubahan harus terjadi.


Dua jam berselang, setelah mendongkol kereta pun datang. Saya bergegas membayar agar masih keburu waktu mengejar pintu masuk kereta, karena sudah aturannya, siapa cepat dia dapat. teh manis yang saya teguk sampai dasar tak bersisa, berprinsip serupa dengan diskusi si pedagang dan si bapak konsumen, tak meninggalkan jejak lagi. Rel yang membentang, panjangnya menjauhkan saya, tiap stasiun adalah persinggahan, tempat keluh kesah bertemu, rasa senasib bersatu. Sedangkan rel merupakan ajang berseteru, di manapun sejak kapan pun. Beda jalur, beda kepentingan. Rel dibangun dari air mata dan darah (misal kerja paksa), yang dipinggirnya terdapat banyak orang-orang yang tersisihkan. Di dalam kereta saya tetap berpikir, seiring nasib sebagai orang kecil yang kerap terbuang dan disisihkan. Belakangan ini masyarakat mudah menemukan kekecewaan terhadap pemerintah. Misal, kasus Century. Senada dengan kesibukan para elit politik di Senayan dan mahasiswa. Namun, di stasiun mana para wakil rakyat dapat bertemu dengan rakyat kecil. Setidaknya, mereka yang berambisi menyelidiki Century Gate. Atau, mereka yang sewaktu masa pemilu dulu rajin berjanji tentang perbaikan nasib rakyat kecil, yang waktu itu ke pasar-pasar tradisional, yang kala kampanye datang ke Bantar Gebang. Antara orang kecil dengan orang besar memang lain jurusan, yang satunya bersimbah derita dan meruahkan keluh kesah di stasiun, orang besar acapkali tak peduli. Ibarat kereta, mereka naik kelas eksekutif, rel sebatas tempat melintas serta sepintas melihat kanan-kiri seperti sedang bertamasya.


Meski Pansus (panitia khusus di DPR) sudah dibentuk guna menteror kasus Bank Century terbentuk, seringkali Pansus tinggalah nama, tanpa hasil apalagi efek bagi rakyat kecil. Di tahun ’98 saja, Soeharto dengan isu kerugian negara sekalipun diturunkan dari kursi kekuasaan, nasib rakyat kecil tak pernah membaik. Korupsi tiap hari semakin menjadi-jadi, pengangguran membengkak, pedagang kecil kerap digusur.

Akhirnya, tujuan stasiun yang ingin saya tuju sampai. saya pun bergegas turun, seketika semua kesadaran yang tadi kini berganti. Di stasiun ini, tak lagi ada si pedagang dan si konsumen yang asik mengobrol, suasana amat sepi, penumpang yang baru saja turun dari kereta seakan berlari menuju pembebasan, dingin dan bingung. Saya memahami, stasiun selain tempat kesadaran terbentuk, tak selamanya guyub, kadang kala merupakan tempat di mana masyarakat terlihat cair, tempat homo homini lupus beraksi.