Kamis, 09 Juli 2009

Sepadankah Harga Demokrasi Dengan Figur Pemimpin Di Indonesia?

Oleh : Cahyo K. Perdana
MEDIA PUBLICA

Perhelatan akbar panggung demokrasi Indonesia saat ini kian panas saja. Para calon elit penguasa berlomba mengatur strategi guna merebut simpati masyarakat. Gencarnya pemberitaan di media mengenai kampanye para kandidat dan segala tetek-bengeknya membuat publik bingung. Saling serang, saling mengklaim di pemberitaan sudah menjadi asupan rutin bagi para informan. Melempar isu untuk menjatuhkan lawan lewat media, melalui masing-masing tim suksesnya menjadi suatu kegemaran dalam meyakinkan publik. Namun apakah cara mereka berkampanye terkesan elegan? Biarlah publik yang menilai. Rakyat juga sudah mulai kritis walaupun parpol jarang yang memberikan pendidikan politik untuk mereka.

Saat di pertemukan dalam satu ring, dengan konsep acara dialogis yaitu debat capres dan cawapres yang difasilitasi oleh KPU terkesan semua baik-baik saja. Audience tidak dapat merasakan emosi yang dihadirkan oleh ketiga pasangan capres/cawapres mengenai visi dan misinya. Padahal debat dilakukan lima kali. Yang kesemuanya saling mendukung dan memberikan jawaban lanjutan ketika seorang moderator bertanya ke kandidat lainnya. Seperti sudah ada jalan ceritanya yang happy ending. Hal ini yang membuat rakyat bertanya-tanya dan bersikap acuh dengan pemilu tahun ini.

Triliunan rupiah menjadi nominal yang lumrah untuk membiayai penyelenggaraan pemilu untuk negeri ini. Harga sebuah demokrasi untuk Indonesia begitu sangat mahal. Sehingga timbul pertanyaan nyeleneh, mengapa Indonesia tidak dipimpin saja oleh seorang raja. Jadi tidak perlu pusing-pusing mengeluarkan biaya untuk penyelenggaraan pemilu semacam ini. Berganti pemimpin, toh berganti juga konsep pengelola kepemerintahan. Tidak heran semakin tua bangsa ini malah semakin terbelakang pasca kemerdekaan. Buruknya mental pemimpin bangsa sudah terlihat dari setiap pergantian presiden. Mulai dari Soekarno melepas jabatannya dan di ambil alih oleh Soeharto. Adegan bersalaman di media jarang sekali terlihat (mungkin saja media saat itu terbatas-red). Hingga Megawati dan SBY yang terkesan dingin. Mengagung-agungkan demokrasi kepada masyarakat namun kenyataan di lapangan, pribadi dari setiap pemimpin kita tidak berjiwa demokrasi atau bersikap legowo.

Pemilihan presiden yang digelar 8 juli 2009. KPU memastikan akan meminimalisir kesalahan-kesalahan yang terjadi pada pileg kemarin. Terkesan agar KPU tidak menjadi kambing hitam lagi dalam kegagalan yang mungkin saja terjadi pada pemilihan presiden kali ini. Kandidat beserta para pendukungnya yang kalah bersiap memboikot KPU dan meminta pemilu ulang bila saja KPU lalai menjalankan tugasnya. Apalagi konflik yang terjadi setelah pemilu berakhir akan semakin mengencangkan urat nadi masyarakat kita yang sangat sensitif akhir-akhir ini. Tidak perduli dengan kasus yang terkait dengan harga diri bangsa. Semua tertuju pada pemilu yang katanya membawa berkah. Sebagian besar elit politisi memanfaatkan pemilu sebagai ajang promosi dan eksistensi dan bagi sebagian masyarkat pemilu adalah sebagai pembawa rezeki.

Apapun persepsi masyarakat mengenai kampanye pilpres ataupun pelaksanaan pemilu adalah suatu kepekaan bagi rakyat kita bahwa pemilu masih dianggap sebagai penyelenggaraan yang penting untuk dilaksanakan. Walaupun banyak terjadi kekisruhan setidaknya dengan memilih pemimpin yang arif dan bijaksana adalah suatu langkah untuk memperbaiki bangsa Indonesia yang semakin terpuruk

1 komentar: