Jumat, 31 Juli 2009

Golput, PR Panjang bagi Pemerintah

Oleh : Dwi Widyastuti - LPM Sukma

Pesta demokrasi baru saja usai, namun hingga kini masih menyisakan kenangan-kenangan selama pesta demokrasi itu berlangsung pada tanggal 8 Juli 2009 lalu. Nasib bangsa ini di tentukan dalam satu hari, secara serempak seluruh rakyat Indonesia melakukan pemilihan langsung calon Presiden dan Wakil Presiden untuk memimpin bangsa ini dalam jangka waktu 5 tahun kedepan.

Sesaat setelah proses penyontrengan dilakukan serempak di seluruh daerah di tanah air, estimasi hasil suara dapat segera diketahui. Perkembangan teknologi yang sudah canggih mampu memprediksi hasil suara hanya dalam hitungan beberapa jam saja setelah proses penyontrengan dilakukan. Pada pemilu 2009 ini digunakan dua metode perhitungan cepat, yaitu Quick Count dan Exit Poll. Berdasarkan hasil prediksi Quick Count dan Exit Poll tersebut, calon Presiden dan Calon Wakil Presiden dari Partai Demokrat yaitu Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono berhasil memimpin di urutan pertama dengan hasil perolehan suara sementara sebanyak 60,84%, menyusul di urutan kedua pasangan Capres dan Cawapres partai PDI Perjuangan dan Gerindra, Megawati Soekarno Putri dan Prabowo dengan perolehan suara sebanyak 26,57% dan Capres-Cawapres partai Golkar dan Hanura, Jusuf Kalla dan Wiranto berada diurutan ketiga dengan perolehan suara 12,60%. Tetapi hasil akhir tetap harus menunggu keputusan dari KPU tanggal 5 Oktober 2009 mendatang.

Namun ditengah situasi politik yang baru saja mencapai puncaknya beberapa pekan lalu, ada sebuah kenyataan menarik pada pemilu kali ini. Yaitu jumlah golongan putih atau golput pada pemilu tahun ini semakin meningkat dibandingkan pada pemilu-pemilu sebelumnya. Pada pemilu 2004 lalu ada sekitar 24,95% golput sedangkan jumlah golput pada pemilu 8 Juli 2009 lalu tercatat ada sekitar 49.677.776 atau sekitar 29.10% dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang tercatat sebanyak 171.265.442. Sementara Partai Demokrat yang disebut-sebut memenangi pemilu dengan perolehan suara 21.703.137 atau sekitar 20.85% dari jumlah suara sah 104.099.785. Dengan demikian jumlah golput lebih banyak bahkan jika dibandingkan jumlah suara partai pemenang pemilu.

Apa yang membuat rakyat Indonesia sebanyak 29.10% itu lebih memilih golput pada pemilu kali ini? Banyak faktor yang mendasari alasan mengapa seseorang lebih memilih golput atau malah "terpaksa" menjadi seorang golput.

Golput terbagi atas dua, yaitu golput Ideologis dan golput administratif. Golput administratif lebih banyak dikarenakan persoalan administratif seperti tidak terdaftar sebagai pemilih atau suara tidak sah. Sementara golput ideologis adalah pemilih yang sengaja tidak memilih karena alasan politis. Golput ideologis lebih banyak dikarenakan tidak adanya lagi rasa kepercayaan terhadap parpol. Parpol dianggap hanya berorientasi pada kekuasaan dibanding memperjuangkan kepentingan rakyat. Banyak yang menganggap bahwa golput adalah pilihan terbaik daripada memilih pilihan yang kedepannya dianggap tetap tidak bisa merubah bangsa ini.

Kemungkinan lainnya adalah ada seseorang "terpaksa" menjadi golput. Mengapa demikian?
Pemilu presiden jatuh pada tanggal 8 Juli 2009, melalui keputusan presiden tanggal 8 Juli tersebut ditetapkan sebagai hari libur nasional. Bagi orang-orang yang bekerja di instansi pemerintahan tentu pada tanggal tersebut diliburkan, namun pada perusahaan swasta tidak semua meliburkan pegawainya. Ada perusahaan swasta yang tetap mempekerjakan karyawannya namun memberikan dispensasi bagi para karyawannya untuk mengikuti pemilu dengan memberikan kebijakan untuk memundurkan jam masuk kerja 2-3 jam dari jam masuk normal. Misalnya, jika biasanya jam masuk kerja jam 08.00 kemudian diberikan dispensasi menjadi masuk jam 10.00 untuk memberikan waktu bagi para karyawannya menyontreng di TPS pada pagi harinya. Hal ini dinilai tidak cukup efektif dengan waktu dispensasi hanya 2 jam datang ke TPS untuk menyontreng kemudian berangkat ke tempat kerja, terutama bagi yang jarak tempat kerjanya relatif jauh. Apalagi bagi pemilih yang menggunakan hak suaranya melalui KTP akan lebih sulit lagi karena penyontrengan melalui KTP baru bisa dilaksanakan setelah jam 12 siang, sementara pada waktu tersebut telah masuk jam kerja normal dan tidak ada dispensasi lagi.

Pemilu kali ini yang jatuh pada bulan Juli juga berbenturan dengan liburan panjang anak sekolah Juni-Juli. Banyak para orang tua yang sudah mengambil cuti sejak jauh hari sebelumnya untuk berlibur bersama keluarga, baik ke luar kota maupun ke luar negeri. Hal ini juga menjadi salah satu faktor yang membuat seseorang "terpaksa" menjadi golput.

Kemudian faktor lain yang sampai saat ini masih dipersoalkan banyak pihak yaitu Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang masih terjadi kekisruhan. Banyak orang yang namanya tidak tercatat dalam DPT. Hal ini menyebabkan banyak hak suara rakyat yang tidak dapat disalurkan. Namun perlu disadari pula bahwa rakyat Indonesia masih terdapat di suku-suku terpencil seperti Badui, Dayak dan berbagai suku terpencil lainnya yang belum terjamah oleh pemerintah kota setempat, sehingga tentu saja jangankan masuk DPT, masuk daftar penduduk didaerah kota setempatnya saja mungkin tidak.

Sensus yang dilakukan 5 tahun sekali oleh pemerintah juga dinilai belum mampu meminimalisir masalah jumlah kependudukan agar DPT menjadi lebih akurat. Lalu dengan fenomena golput yang saat ini diketahui 29,10% bukan tidak mungkin jumlah sebenarnya lebih besar lagi dari angka tersebut.

Meningkatnya angka golput menimbulkan banyak pertanyaan tentang sistem pemilu saat ini. Pemilu yang dianggap sebagai suatu wujud kedaulatan rakyat tetapi belum sepenuhnya dinikmati oleh rakyat. Hal ini tentu sudah harus menjadi perhatian bagi pemerintah agar pemilu selanjutnya nanti tidak terus menerus mengulang kesalahan yang sama dari sejarahnya.