Minggu, 29 November 2009

Hasta La Victoria Siempre

Serangkaian isu Cicak VS buaya kian ramai dibincangkan. Tanpa makna tanpa analisa sosial lebih dalam. Sehingga masyarakat terjebak dalam agenda besar global. Pertaruhan kekuasaan semakn terlihat jelas antara bendera parpol yang tersisihkan dalam pemilu 2009. Anehnya gerakan mahasiswa lagi-lagi terjebak dalam situasi seperti ini.

Kalut. Itulah bayangan gerakan mahasiswa hari ini. Aksi tanpa mengerti apa yang diperjuangkan. Aksi hanya menjadi sebuah keniscayaan atas kekuasaan rezim hari ini. Aksi hanya menjadi budaya pergerakan reaksioner tanpa melihat apa yang terkonsep atas nama Indonesia raya.

Sekali lagi, mereka yang rindu akan gerakan 98 adalah mereka yang tak belajar dari sejarah. Sejarah gerakan 98 membuktikan bahwa dalam perjalanannya tak dapat merubah kondisi Indonesia hari ini dari segi politik, ekonomi, budaya dan hukum. Semuanya sama saja tak ada perubahan atau gagasan lain didalamnya.

Jika memang demikian, bagaimana dengan kenyataan hari ini atas settingan terbesar atas isu cicak VS buaya terkait korupsi dan ketidakadilan. Yang ternyata isu tersebut dapat berkembang kepada obsesi penaklukan rezim hari ini.

Isu korupsi bukan masalah subtantif tentang merebaknya kemiskinan di Indonesia. Namun, isu ini hanya rekayasa media untuk menutup isu-isu kerakyatan lainnya. Sepeti halnya isu keputusan APEC, atau penggarapan lahan petani oleh pihak pemerintah secara paksa. Atau lebihnya di daerah Kalimantan yang akan terdapat penghijauan kembali dengan menanam bakau didaerah pesisir pantai yang didalamnya banyak batu bara yang dilakukan oleh investor dari Jepang.

Hal diatas dapat menjadi pembuktian bahwa beberapa tahun lagi tanah penghijauan di Kalimantan pun dimiliki oleh Jepang. Lalu bagaimana dengan keberadaan batu bara tersebut?jelas itu pun akan dimiliki oleh Jepang. Dengan demikian, tanah air ini akan menjadi milik asing bukan kita sebagai pewaris tunggal bangsa ini. Inilah yang menyebabkan kemiskinan struktural.

Dengan melihat konteks diatas. Maka pada hari selasa akan diadakan diskusi dan dihadiri oleh kampus-kampus se-Jakarta tentang “Hukum sehat rakyat berdaulat, Telaah kritis cicak VS buaya” di kampus UNJ gedung K, FIS (Fakultas Ilmu Sosial). Isu yang tak lagi sehat untuk rakyat harus dilawan dengan akal yang sehat. Selamat menikmatinya

EKSISTENSIALIS

Hidup manusia berbeda dari benda mati yang tidak bisa keluar dari cetakannya. Karena itu manusia memiliki kebebasan mutlak dalam menjalani kehidupan di dunia.

Pagi ini serasa bersahaja sekali. Dengan menghirup segelas kopi membaca berita di surat kabar, sekejap mata ini menangkap sebuah gambar hasil bidikan profesional dari sebuah media besar. Gambar seorang polisi yang sibuk memblokir jalan utama dikawasan jakarta pusat, jalan tersebut menuju ke arah senayan. Keterangan dibawah gambar tersebut membuat saya terperangah. “Akibat aksi demonstrasi polisi terpaksa blokir jalan.” Begitu keterangan dari gambar yang amat eye catching di rubrik metropolitan pagi ini.

Penulis kemudian tertarik untuk membaca keseluruhan dari artikel yang membahas persoalan demonstrasi tersebut. Ternyata isi dari protes yang dilakukan oleh ribuan orang itu adalah soal penegasan keberadaan mereka terhadap pemerintahan yang baru saja dibuat. Memang pada tanggal 20 oktober 2009 di senayan sedang digelar perhelatan akbar. Pelantikan presiden baru republik Indonesia periode 2009 – 2014, yang terpilih melalui Pemilihan umum bulan Juli 2009.

Pelantikan ini malah diawali oleh munculnya kemunculan aksi demonstrasi oleh kaum intelektual yang melabeli dirinya sebagai mahasiswa lewat almamater yang dikenakan. Kendati demikian kehadiran mereka yang serta merta menutup jalan sebagai fasilitas umum (ruang publik) menimbulkan pertanyaan besar.
Untuk apa? Dan siapa mereka? Mereka yang selalu berteriak menggunakan slogan membela dan memperjuangkan hak rakyat ternyata malah mempersulit akses rakyat sendiri terhadap jalan yang sudah menjadi hak mereka. Kehadiran mereka di jalan menunjukan eksistensi mereka di ruang publik.
Ruang publik merupakan ruang dimana pemegang kekuasaan dan yang dikuasai dapat menjalin komunikasi tanpa ada penekanan (dominasi) dari salah satu pihak. Jalan yang dalam konteks ini merupakan ruang publik dalam hal ini menjadi sebuah media yang dinilai efektif untuk berkomunikasi dengan penguasa.

Jurgen Habermas seorang filsuf Jerman yang terkenal dengan teori komunikasinya mengatakan bahwa kegagalan komunikasi antara penguasa dan rakyatnya adalah tidak adanya ruang publik untuk berkomunikasi antara mereka.

Dalam konteks berita di artikel, penulis mengambil relasinya dengan aksi demonstrasi di depan gedung senayan. Komunikasi dirasakan efektif bila berjalan dengan dua arah. Akan tetapi lewat aksi yang di gelar di tahun 2009 ini mereka tidak menuai umpan balik dari kabinet yang baru. Aksi tersebut menimbulkan kemacetan, dan kerugian bagi khalayak ramai pengguna jalan.

Sambiil menyeruput kopi yang kian dingin, saya terus menelisik artikel menarik ini. Teringat akan cerita para pemuda di bulan Oktober juga pada tahun 1928 mereka menunjukan eksistensinya sebagai satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air melalui sumpah pemuda.

Rasanya terlalu jauh bila saya menganalogikan demonstrasi pada tahun 1928 dengan demonstrasi pada tahun 2009. Pada abad ke 21 satu ini banyak perubahan terjadi. Demonstrasi pun bukan hanya milik kaum intelektual atau kelompok tertentu saja. Semua orang atau masa dapat dengan mudah melakukan aksi turun ke jalan. Yang ingin saya soroti dalam tulisan ini sebenarnya bagaimana eksistensi demonstrasi itu sendiri saat banyak dari rakyat yang turun kejalan, saat berbagai kelompok meneriakan berbagai ketidakadilan oleh negara.

Eksistensi atau Esensi
Hadirnya berbagai demonstrasi merupakan tolak ukur kegagalan dari pemerintah dalam mensejahterkan rakyatnya. Akan tetapi meningkatnya kuantitas dari aksi tersebut menimbulkan pertanyaan tersendiri. Apakah demonstrasi tersebut sebagai wujud eksistensi sah para pelakunya atau memang benar berujung pada esensi dasar dasar perwujudan perlawanan rakyat yang tertindas sesuai dengan konteks ketertindasannya masing-masing.

Kita kembali pada aksi demonstrasi para intelektual ber almamater (mahasiswa_red). Mereka yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa seluruh Indonesia itu mengamini bahwa pemerintahan yang akan berjalan harus memperhatikan kepentingan rakyatnya, sebagai konsekuensinya mereka mengajukan kontrak politik kepada presiden yang baru dilantik sebgai landasan untuk menurunkan kabinet seandainya mereka melanggar ketentuan tersebut.

Melihat dari tujuan diadakannya aksi tersebut, adalah suatu hal yang muskhil menjatuhkan presiden hanya dengan mengikat kontrak. Sebab presiden yang dipilih secara sah tersebut hanya bisa di jatuhkan dengan sidang isetimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat, atau dengan mengundurkan diri. Esensi dari demonstrasi tersebut patut dipertanyakan. Sekali lagi kecenderungan demonstrasi tersebut hanya sekedar eksistensi dari romantisisme mahasiswa.

Mahasiswa menjadi sekelompok manusia eksistensialis yang kebingungan akan esensinya dalam dunia, khususnya dalam negara. Tidak dapat dipungkiri, mahasiswa berada dalam cetakan pendidikan, dimana dunia mereka hidup sedang mengalami permasahan kompleks. Sartre seorang filosuf eksistensialisme sendiri percaya bahwa dari eksistensialisme akan melahirkan sebuah esensi.

Konsep esensi yang didambakan sartre ternyata tidak terjadi dalam diri mahasiswa pembuat demonstrasi tersebut, yang timbul malah konsepsi tentang manusia super atau pengakuan mereka sebagai golongan baru dalam masyarakat. Akhirnya mahasiswa dan demonstrasinya terjebak dalam absurditas. Absurditas yang nyata saat terjadinya banyak masalah di dalam institusi. Di mana tempat mereka mengada yaitu Universitas

Mahasiswa malah sibuk mencari dunia lain yang jauh dari jangkauannya yaitu dunia politik. Muaranya jelas menjadi politikus. Karena lebih menjanjikan daripada menjadi seorang pendidik yang akan mencerdaskan bangsa. Padahal sejarah telah mencatat beberapa nama aktivis mahasiswa yang dahulunya lantang berteriak di jalan sekarang malah terjerumus dalam lubang hitam kekuasaan.

Oleh : Haris Malikus - Didaktika

Forum Pers Mahasiswa Jakarta: Senandung Lirih Pendidikan

Forum Pers Mahasiswa Jakarta: Senandung Lirih Pendidikan

Senandung Lirih Pendidikan

Oleh : Hendro Ramadhani - Didaktika

Banyak yang bilang jika aku (baca:pendidikan) ini mahal. Banyak yang bilang jika aku ini candu. Banyak yang bilang jika aku ini yang melahirkan perbedaan kelas masyarakat. Banyak yang bilang jika aku ini lembaga makelar. Banyak yang bilang jika aku ini telah diperkosa dan dipasung oleh kuasa modal.

Aku tidak percaya akan kenyataan identitas diri hari ini. Aku tidak bersalah atas kenyataan dan aku tidak bersalah atas keadaan eksistensi di negeri ini. Aku hanya menjadi suatu hal yang terus dimanfaatkan oleh keberlangsungan liberalisas global. Aku menjadi korban pada periode ini.

Terkadang aku berpikir, masihkah pantas aku berada di negeri ini?jika memang keberadaan aku hanya menjadi alat para ambisi pemodal. Aku bingung, sedih, galau semakin menghantui setiap langkah ini. Jujur, aku tersentak dengan kenyataan hari ini. Sempat terbesit untuk mengembalikan aku lagi dalam kondisi yang seharusnya. Yaitu aku menjadi suatu yang dapat membawa peradaban manusia lebih baik. Peradaban dimana semua manusia Indonesia tak lagi canggung untuk melihat konteks kehidupan sosial kekinian.

Aku terhempas dan mungkin mulai kehilangan kendali. Aku terasuki iblis yang tak lagi peduli dengan manusia yang lain. Aku telah dikalahkan dengan keadaan yang membentuk manusia hari ini. Lembaga yang selalu menyandang status aku justru tak dapat berbuat banyak. Ya, lembaga itu justru merelakan apa yang telah terjadi pada diri aku. Karena memang, lembaga tersebut mendapatkan nilai lebih (baca:keuntungan) dengan menjual status aku.

Sejujurnya, aku kecewa terhadap lembaga tersebut. Siapapun itu, aku benci dia. Huh, mungkin terlalu cepat aku mengeluarkan pernyataan lirih dan pedih ini. Karena jika aku kalah dengan keadaan hari ini maka aku akan hilang di masa depan. Jika aku hilang esok artinya sejarah tentang aku takakan kembali. Bagi aku, terlalu mengerikan untuk dibayangkan tentang hilangnya aku. Aku mohon, jangan hilang.

Aku tak akan hilang walau segala rekayasa politik dimainkan utuk menghilangkan aku. Sejujurnya aku tak akan hilang tergerus zaman yang semakin terdengar gaungnya tentang "akhir dari kehidupan sosial". Karena aku masih yakin, masih ada beberapa manusia-minoritas-yang masih membicarakan aku di tempat2 ngopi, dibawah pohon cemara, ditepi sungai ciliwung.

Yang pasti aku tidak akan percaya jika aku dibicarakan dalam gedung parlemen atau pemerintahan. Aku terlalu banyak dikelabui disana. Oh, maaf ini bukan pernyataan subyektik tentang aku, ini kenyataan.

Aku hanya inginkatakan, jika aku masa lalu, hari ini dan masa depan tak akan pernah terkikis sedikit pun tentang identitas aku di muka bumi.

Tak terasa awan semakin gelap dan angin kencang telah menampar wajah ini. Aku terdampar, terkulai dalam keraguan atas kenyataan. Namun disela gemuruh yang semakin nakal. Aku yakin masih dapat bertahan dalam kenyataan. Karena badai yang terus menrus menimpa diri aku, pasti akan berlalu.


Sekali lagi, aku adalah pendidikan.......

Hari Sumpah Pemuda Bukan Hiasan Dinding Negara

Kami putra-putri Indonesia bertanah air satu tanah air Indonesia;
Kami putra putri Indonesia berbangsa satu bangsa Indonesia;
Kami putra putri Indonesia berbahasa satu bahasa Indonesia.
(Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928)

Derap semangat pemuda Indonesia tergambar begitu berkobar ketika menculik Soekarno dan Hatta pada peristiwa Rengasdengklok, mendesak keduanya untuk segera memproklamirkan kemerdekan Indonesia. Alasannya sederhana, mereka tak lagi dapat melihat pihak asing terus menggerogoti tanah Indonesia.

Seperti pidato Bung Karno pertama kali saat menggantikan Cokroaminoto dalam rapat, “Saudara, kita adalah bangsa yang kaya. Jika kita tancapkan kayu maka akan tumbuh menjadi makanan untuk kita, tetapi mengapa bangsa kita tetap kelaparan?”.

Itulah sebuah kisah pemuda Soekarno, semangat yang luar biasa saat membuka rapat ketika pra revolusi kemerdekaan 1945. Sebenarnya semangat pemuda Indonesia telah lahir kala tercetusnya sumpah pemuada pada tahun 1928. Komunitas-komunitas pemuda lokal telah banyak meyakini akan hadirnya sebuah bangsa tanpa penindasan. Keyakinan itulah yang pada akhirnya menentukan pemuda Indonesia dalam meretas perjuangan kemerdekaan. Walau sebenarnya pada tahun 1917 telah terdapat kumpulan pemuda Jawa yang mengatasnamakan “Tri Koro Darmo (Jong Java)”.

Menariknya, pemuda kala itu tidak terdeteksi dengan usia, pemuda lebih cendrung masyarakat Indonesia yang mempunyai semangat pembebasan nasional. Mereka yang dapat bersosialisasi dengan masyarakat, mereka yang dapat memberikan pendidikan gratis, mereka yang bersemangat membangun organisasi pembebasan nasional. Ya, itulah makna pemuda kala itu, dimana pemuda menjadi puncung senjata kekuatan rakyat.

Pertanyaannya, bagaimana dengan makna pemuda dalam sumpah pemuda era modernitas? Apakah pemuda tetap menjadi kumpulan masyrakat yang mempunyai semangat untuk meneruskan perjuangan untuk mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia seratus persen.

Saya pikir, seharusnya pemuda pada hari ini harus kembali kepada sejarah pemuda Indonesia itu sendiri. Karena tanpa mengetahui peta sejarah pemuda Indonesia , pemuda pada era ini akan bias dalam memaknai ruh pemuda dalam sumpah pemuda. Jika sejarah pernah bercerita tentang bergemanya isi dari Sumpah Pemuda yang penuh komitmen dan keyakinan jika Negara Indonesia harus tetap ada. Karena bagi pemuda kala itu tak ada jalan lagi selain tetap setia diatas tanah airnya.

Kesetian terhadap anah air memang menjadi suatu hal yang prinsipil. Suatu prinsip hanya dapat diukur dengan pikiran yang terkait dengan tindakkan. Dengan begitu, pemuda tanpa tindakkan hanya akan menjadi candu dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Apalagi dalam konteks kehidupan sosial hari ini yang telah jauh dari konsep keadilan. Dimana keadilan menjadi suatu hal yang bias dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia.

Jika dulu bangsa Indonesia bergelut dengan kolonialisme bangsa asing, hari ini bangsa Indonesia bergelut dengan kebijakan pemerintah bangsa sendiri. Sehingga tak salah jika kawan dari Yogya dalam kaosnya tertera sebuah kalimat “ Kaum kuli di negeri janji”. Segala permasalahan yang mengungkap Land Reform pun tak pernah selesai. Bahkan sampai masalah pendidikan, bangsa ini terus dijadikan pusat penerimaan buruh-buruh baru dalam wilayah Industri asing.

Kenyataan diatas merupakan masalah yang diidap bangsa Indonesia sampai saat ini. Mahasiswa yang bagian dari salah satu unsur pemuda terdidik ternyata masih jauh diharapkan. Sehingga mahasiswa hanya menjadi unsur kelas yang berbeda dengan pemuda tani atau pemuda buruh. Akibatnya, mahasiswa hanya dapat berteriak dibawah terik matahari tanpa ada dukungan dari masyarakat arus bawah.

Bagi saya, mahasiswa adalah pemuda yang beruntung mendapatkan pendidikan lebih tinggi. Dengan pendidikan, pemuda dapat terus menganalisa, bersikap dan bertindak terhadap apa yang diyakini jika itu merupakan sebuah kebenaran. Sedangkan kebenaran hanya dapat dirasakan ketika nihilnya kosep keadilan.

Artinya, tanggung jawab moral seorang pemuda merupakan menyelesaikan suatu kebenaran dan konsep keadilan yang masih abstrak. Sehingga pemuda menjadi basis kekuatan kembali dalam tatanan Negara Indonesia. Karena pada dasarnya, perjuangan pemuda adalah mendidik rakyat dengan apa yang mereka punya, apa yang mereka butuhkan dan apa yang mereka rasakan. Sehingga identitas masyarakat tercipta dengan sendirinya dan pemuda hanya menjadi pendukung atas lahirnya semangat kemerdekaan yang terbelenggu.

Sekali lagi, tulisan ini bukan menjadi angin simbol kala hari Sumpah Pemuda dikumandangkan. Tetapi tulisan ini hanya kisah klasik atas pemaknaan pemuda Indonesia yang terlupakan. Karena Sumpah Pemuda merupakan janji bagi pemuda-pemuda Indonesia masa lalu dan masa ini.

oleh : Hendro ramadhani - Didaktika UNJ