Minggu, 29 November 2009

EKSISTENSIALIS

Hidup manusia berbeda dari benda mati yang tidak bisa keluar dari cetakannya. Karena itu manusia memiliki kebebasan mutlak dalam menjalani kehidupan di dunia.

Pagi ini serasa bersahaja sekali. Dengan menghirup segelas kopi membaca berita di surat kabar, sekejap mata ini menangkap sebuah gambar hasil bidikan profesional dari sebuah media besar. Gambar seorang polisi yang sibuk memblokir jalan utama dikawasan jakarta pusat, jalan tersebut menuju ke arah senayan. Keterangan dibawah gambar tersebut membuat saya terperangah. “Akibat aksi demonstrasi polisi terpaksa blokir jalan.” Begitu keterangan dari gambar yang amat eye catching di rubrik metropolitan pagi ini.

Penulis kemudian tertarik untuk membaca keseluruhan dari artikel yang membahas persoalan demonstrasi tersebut. Ternyata isi dari protes yang dilakukan oleh ribuan orang itu adalah soal penegasan keberadaan mereka terhadap pemerintahan yang baru saja dibuat. Memang pada tanggal 20 oktober 2009 di senayan sedang digelar perhelatan akbar. Pelantikan presiden baru republik Indonesia periode 2009 – 2014, yang terpilih melalui Pemilihan umum bulan Juli 2009.

Pelantikan ini malah diawali oleh munculnya kemunculan aksi demonstrasi oleh kaum intelektual yang melabeli dirinya sebagai mahasiswa lewat almamater yang dikenakan. Kendati demikian kehadiran mereka yang serta merta menutup jalan sebagai fasilitas umum (ruang publik) menimbulkan pertanyaan besar.
Untuk apa? Dan siapa mereka? Mereka yang selalu berteriak menggunakan slogan membela dan memperjuangkan hak rakyat ternyata malah mempersulit akses rakyat sendiri terhadap jalan yang sudah menjadi hak mereka. Kehadiran mereka di jalan menunjukan eksistensi mereka di ruang publik.
Ruang publik merupakan ruang dimana pemegang kekuasaan dan yang dikuasai dapat menjalin komunikasi tanpa ada penekanan (dominasi) dari salah satu pihak. Jalan yang dalam konteks ini merupakan ruang publik dalam hal ini menjadi sebuah media yang dinilai efektif untuk berkomunikasi dengan penguasa.

Jurgen Habermas seorang filsuf Jerman yang terkenal dengan teori komunikasinya mengatakan bahwa kegagalan komunikasi antara penguasa dan rakyatnya adalah tidak adanya ruang publik untuk berkomunikasi antara mereka.

Dalam konteks berita di artikel, penulis mengambil relasinya dengan aksi demonstrasi di depan gedung senayan. Komunikasi dirasakan efektif bila berjalan dengan dua arah. Akan tetapi lewat aksi yang di gelar di tahun 2009 ini mereka tidak menuai umpan balik dari kabinet yang baru. Aksi tersebut menimbulkan kemacetan, dan kerugian bagi khalayak ramai pengguna jalan.

Sambiil menyeruput kopi yang kian dingin, saya terus menelisik artikel menarik ini. Teringat akan cerita para pemuda di bulan Oktober juga pada tahun 1928 mereka menunjukan eksistensinya sebagai satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air melalui sumpah pemuda.

Rasanya terlalu jauh bila saya menganalogikan demonstrasi pada tahun 1928 dengan demonstrasi pada tahun 2009. Pada abad ke 21 satu ini banyak perubahan terjadi. Demonstrasi pun bukan hanya milik kaum intelektual atau kelompok tertentu saja. Semua orang atau masa dapat dengan mudah melakukan aksi turun ke jalan. Yang ingin saya soroti dalam tulisan ini sebenarnya bagaimana eksistensi demonstrasi itu sendiri saat banyak dari rakyat yang turun kejalan, saat berbagai kelompok meneriakan berbagai ketidakadilan oleh negara.

Eksistensi atau Esensi
Hadirnya berbagai demonstrasi merupakan tolak ukur kegagalan dari pemerintah dalam mensejahterkan rakyatnya. Akan tetapi meningkatnya kuantitas dari aksi tersebut menimbulkan pertanyaan tersendiri. Apakah demonstrasi tersebut sebagai wujud eksistensi sah para pelakunya atau memang benar berujung pada esensi dasar dasar perwujudan perlawanan rakyat yang tertindas sesuai dengan konteks ketertindasannya masing-masing.

Kita kembali pada aksi demonstrasi para intelektual ber almamater (mahasiswa_red). Mereka yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa seluruh Indonesia itu mengamini bahwa pemerintahan yang akan berjalan harus memperhatikan kepentingan rakyatnya, sebagai konsekuensinya mereka mengajukan kontrak politik kepada presiden yang baru dilantik sebgai landasan untuk menurunkan kabinet seandainya mereka melanggar ketentuan tersebut.

Melihat dari tujuan diadakannya aksi tersebut, adalah suatu hal yang muskhil menjatuhkan presiden hanya dengan mengikat kontrak. Sebab presiden yang dipilih secara sah tersebut hanya bisa di jatuhkan dengan sidang isetimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat, atau dengan mengundurkan diri. Esensi dari demonstrasi tersebut patut dipertanyakan. Sekali lagi kecenderungan demonstrasi tersebut hanya sekedar eksistensi dari romantisisme mahasiswa.

Mahasiswa menjadi sekelompok manusia eksistensialis yang kebingungan akan esensinya dalam dunia, khususnya dalam negara. Tidak dapat dipungkiri, mahasiswa berada dalam cetakan pendidikan, dimana dunia mereka hidup sedang mengalami permasahan kompleks. Sartre seorang filosuf eksistensialisme sendiri percaya bahwa dari eksistensialisme akan melahirkan sebuah esensi.

Konsep esensi yang didambakan sartre ternyata tidak terjadi dalam diri mahasiswa pembuat demonstrasi tersebut, yang timbul malah konsepsi tentang manusia super atau pengakuan mereka sebagai golongan baru dalam masyarakat. Akhirnya mahasiswa dan demonstrasinya terjebak dalam absurditas. Absurditas yang nyata saat terjadinya banyak masalah di dalam institusi. Di mana tempat mereka mengada yaitu Universitas

Mahasiswa malah sibuk mencari dunia lain yang jauh dari jangkauannya yaitu dunia politik. Muaranya jelas menjadi politikus. Karena lebih menjanjikan daripada menjadi seorang pendidik yang akan mencerdaskan bangsa. Padahal sejarah telah mencatat beberapa nama aktivis mahasiswa yang dahulunya lantang berteriak di jalan sekarang malah terjerumus dalam lubang hitam kekuasaan.

Oleh : Haris Malikus - Didaktika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar