Kamis, 09 Juli 2009

Capres dalam Toples

Penulis : M. Wahyu Ariyanto

Mahasiswa Universitas Mercu Buana

Akhirnya keputusan ada pada para pemilih (Voters), apakah memilih untuk tidak memilih atau memberikan pilihan kepada para tukang obat yang belum dijamin kesaktian obatnya.



Konsep yang diteriakkan oleh Lester adalah konsep pada situasi teriakan revolusi Industri pada waktu itu, dimana upaya untuk menonjolkan tentang pemikiran subjektif serta metode pengklaiman yang memarjinalkan kinerja tim. Konsep pemasaran lama yang dikristalisasikan pada pertengahan 1950-an dengan tendensi pada kesiapan produsen seharusnya sudah tidak terpakai lagi. Tapi entah kenapa konsep pemasaran ini malah menjadi booming dalam pemilu 2009 kali ini dan bersembunyi dibalik Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kampanye, Pasal 81 Undang-Undang (UU) No. 10/2008 tentang pemilu yang menyebutkan bahwa kampanye diselenggarakan dalam bentuk pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, iklan di media massa, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga di tempat umum dan kegiatan lain yang tidak melanggar kampanye dan peraturan perundang-undangan.

Ranah politik yang terkontaminasi oleh metode pemasaran, menganalogikan kampanye capres dan program kerjanya menjadi komoditas “jualan” baru, terungkap vulgar pada pemilu tahun ini. Bendera, baliho serta atribut partai lainnya dimuntahkan ke jalanan untuk merebut hati pemilih. Durabilitas iklan sendiri mempengaruhi preferensi politik dan opini publik, karena banyak pemilih menentukan pilihannya pada hari pemilu (undecided voters). Jadi, banyak pemilih Indonesia yang saat ini belum mempunyai pilihan pasti. Selain itu, iklan politik juga penting dalam persaingan karena jumlah swing voters di Indonesia cukup besar. Swing voters adalah pemilih yang berganti-ganti pilihan politiknya dari satu pemilu ke pemilu lain. Undecided dan swing voters ini yang menjadi target iklan politik.

Iklan politik yang dipakai para parpol mempunyai satu tujuan untuk melahap hati para pemilih. Dalam bukunya Philip Kotler tentang manajemen pemasaran, ia mengatakan ada tiga variabel dalam analisis pesaingnya, yakni pangsa pasar yang berarti pasar sasaran, pangsa ingatan, dimana pemilih dapat mengingat kandidat pilihan, serta pangsa hati, mengenai analisis preferensi pemilih tentang capres. Konsep Philip inilah yang menjadi panduan bagi para parpol untuk mengencarkan pemasaran politik ( Political Marketing ) agar para capres menjadi produk sempurna pilihan rakyat.

Kondisi euforia demokrasi simbol yang berlangsung setiap empat tahun ini menjadi ajang pemborosan uang. Iklan, jargon serta tag line yang diadzankan kepada rakyat selalu berhubungan dengan rencana, hasil dan pengklaiman. Rencana yang mampu merekonstruksi keadaan menjadi lebih baik, lebih sejahtera selalu didengungkan oleh calon presiden yang merasa berdiri di pucuk aspirasi rakyat. Sedangkan berbicara tentang hasil selalu di sebarkan oleh calon yang sedang menjabat sebagai orang nomor satu di negeri ini. Hasil yang baik yang dibungkus dengan data-data yang tidak tahu darimana asalnya menjadi pembius bagi siapapun yang mendengar. Serta yang tidak kalah hebatnya adalah metode pemasaran tentang pengklaiman. Kata klaim sendiri dalam kamus besar Indonesia berarti tuntutan pengakuan atas suatu fakta bahwa seseorang berhak atas sesuatu. Konsep yang dijalankan merupakan metode klasik tentang persaingan dalam satu selimut.

Mungkin para calon presiden tidak kenal dengan Lester maupun Kotler, namun konsep dalam lead menggambarkan kondisi saat ini. Partai politik yang “menjual” calonnya kepada para pemilih mengemas pasangan yang diusung menjadi lampu tembak di tengah gulita. Para calon mengunjungi seluruh daerah pemilihan sejak dini hingga larut malam. Berjabat tangan, mencium bayi, bertemu dengan para pendonor dan menyampaikan pidato menjadi rutinitas baru bagi calon presiden. Tak terhitung berapa jumlah biaya yang dikeluarkan untuk memoles diri menjadi pasangan ideal.

Political Marketing yang berkembang pesat merupakan bagian dari political personal image dan political personal branding. Political personal Image yang meliputi Personality, Values, Emotions and Competences menjadikan capres sebagai orang sempurna. Penonjolan citra yang dikemas apik menjadi suguhan Parpol pengusung agar capres dapat dipajang dalam etalase pemilihan. Sedangkan Political Personal Branding yang merupakan Image, Asosiasi dan Pengetahuan atas seorang kandidat yang tertanam di benak pemilih yang membantu dalam proses seleksi kandidat.

Sayangnya “kemajuan” pemasaran politik yang melabrak etika tidak dibarengi dengan kesiapan regulator negara ini. Pada akhirnya, kampanye yang dilakukan oleh ketiga calon bisa dikatakan melanggar hanya berdasarkan persepsi. Persepsi yang dibentuk regulator tanpa batasan yang jelas dan tegas. Durasi iklan boleh dibatasi, tapi perputaran uang, donatur serta sistem kampanye yang digunakan para tim sukses, luput dari kacamata Komisi Pemilihan Umum. Tinggal akhirnya keputusan ada pada para pemilih (Voters), apakah memilih untuk tidak memilih atau memberikan pilihan kepada para tukang obat yang belum dijamin kesaktian obatnya.

“Inilah apa yang saya buat, apakah anda ingin membelinya??”-

( Lester Wunderman – Famous Marketer )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar