Minggu, 09 Agustus 2009

KEMBALI MEMPOSISI SEBAGAI OPOSISI

Tak seperti pemilu legislatif pada 9 April 2009 silam. Pagi, 8 Juli lalu, saya sengaja bangun untuk mencontreng pemilu presiden lebih awal, alasanya agar tidak mengantri dan menunggu giliran lebih lama.


Namun, sepertinya tidak hanya saya yang belajar dari pengalaman tentang pemilu caleg lalu, konstituen di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 46 warga Cipinang Melayu pun berbondong-bondong, untuk memilih dalam pesta demokrasi lima tahunan ini.

Hingar bingar tentang Pilpres lalu pun masih menghiasi perbincangan di layar televisi dan headline surat kabar lokal, mulai dari gerakan satu putaran (Gestapu) yang sudah didengung-dengungkan sebelum hari penyontrengan oleh salah satu calon presiden, keresahan sebagian pihak atas hasil quick count yang telah diumumkan sejak pukul 09.00 pagi, belum lagi masalah DPT yang masih carut marut, hingga probabilitas untuk menjadi oposisi pun di blow up ke public.

Oposisi berarti berlawanan atau bertentangan, wacana ini bukan hadir pada saat hasil pilpres telah ditetapkan oleh KPU. Tetapi, jauh sebelum itu. PDI-P telah menetapkan dirinya sebagai partai oposisi. Mengkritik habis-habisan segala kebijakan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) periode lalu. Tampaknya, hal yang sama akan dia lakukan pada periode selanjutnya, jika Mahkamah Agung menetapkan SBY sebagai pemangku jabatan presiden lagi, untuk lima tahun mendatang.

Tidak ingin sendiri, PDI-P mengajak GOLKAR untuk menemaninya berdiri sebagai oposisi. Tradisi oposisi partai berlambang banteng ini memang sudah cukup lama, sejak Megawati memimpin, ditambah lagi dengan kekalahannya pada Pemilu 2004 lalu.

Sedangkan GOLKAR, memang tidak mempunyai sejarah yang menempatkan partai ini berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Apalagi, Jusuf Kalla (JK) ketua umum partai yang khas dengan pohon beringinnya ini, malah menjadi wakil presiden menemani SBY.

Berbanding terbalik dengan 2004 lalu, kini JK menjadi kompetitor yang kalah bersaing dengan SBY. Otomatis, GOLKAR pun mulai patah arang dan berubah haluan untuk memantapkan posisinya, sebagai oposisi atau partai yang mendukung pemerintah. Walau, sebenarnya polemik ini masih menjadi perdebatan sendiri di tubuh GOLKAR.

Mundur kebelakang, sebelum Pilpres digelar, tiap capres mengembar-gemborkan prestasinya lewat iklan di Media. Seolah ingin menciptakan opini publik yang positif, bak humas dalam sebuah perusahaan yang melakukan survei tentang keberhasilan masing-masing calon. Entah versi mana yang benar, tetapi yang dirugikan justru masyarakat awam yang tidak mengerti tentang angka dan data-data statistik yang disajikan oleh survei buatan para capres.

Kalah, bukan berarti memposisikan diri sebagai oposisi. Bergerak di sayap kiri. Selalu bertentangan dengan program pemerintah dan seakan-akan menjatuhkan kredibilitas badan eksekutif dimata masyarakat.

Oposisi rupanya dibutuhkan bukan hanya untuk mengawasi kekuasaan. Tetapi juga diperlukan, untuk mengungkapkan hal baik dan benar dalam politik yang haruslah tetap diperjuangkan meski melalui kontes politik dan diuji dalam wacana politik terbuka, dan hendaknya oposisi juga memberi solusi tentang kebijakan pemerintah yang dinilai tidak pro rakyat. (Yogo - Aspirasi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar