Selasa, 22 Desember 2009

Ankringan Otak Sehat

Oleh : Hendro Ramandani

(Dewan Presidium, Forum Pers Mahasiswa Jakarta)


Hukum tubuh Negara. Namun jika fungsi hukum nihil adanya. Kuasa Rakyat hanya ambiguitas belaka.


Banyak yang bilang jika eksistensi hukum di Indonesia memang harus tetap ada dan dipertahankan. Kekuatan hukum artinya kekuatan massa rakyat yang harus di prioritaskan. Hak-hak rakyat pula yang harus dijadikan prinsip oleh segenap manusia yang taat dengan hukum. Artinya, hukum yang didasari dengan konstitusi dasar menjadi hal yang harus diperjuangkan dan bukan sebatas perjuangan hukum untuk sebatas kepentingan golongan terlebih kepentingan elit politis.


Melihat konteks hari ini yang sedang terjadinya euforia penegakkan hukum terkait dengan korupsi. Banyak masyarakat yang tidak mengerti mengapa korupsi di Indonesia semakin merajai setiap instansi. Mulai dari instansi pemerintah maupun lembaga pendidikan semua terjebak dalam ruang oportunis personal atau lembaganya. Sehingga memungkinkan masyarakat terjerumus dalam lembah kemiskinan structural yaitu Suatu kemiskinan yang tak akan pernah hilang dalam satu dasa warsa di bumi Indonesia.


Menariknya lagi, hukum Indonesia tak dapat berbuat banyak di tengah jeritan masyarakat arus bawah. Hukum di Indonesia hanya menjadi korban dari gaya dominasi ideologi global saat ini. Hukum di Indonesia sebatas hiasan dinding jika dilihat dari eksistensinya. Bagaimana tidak, kekuatan konstitusi telah di deregulisasi, privatisasi dan liberalisasi oleh kepentingan politik global. Sebut saja, penyelewengan terhadap UUD 1945 pasal 31 yang terkait dengan pendidikan untuk rakyat bukan untuk masyarakat kelas ekonomi atas. Yaitu dengan diberlakukannya UU Badan Hukum Pendidikan (BHP), sedangkan dalam realisasinya BHP akan ditemani oleh PK-BLU terlebih dahulu. Pertanyaannya, dapatkah menegakkan hukum diatas penolakan BLU di kampus?


Kembali lagi ke problema hukum Indonesia yang tak pernah jelas fungsinya. Seperti terkait dengan kasus Bank Century atau korupsinya pejabat-pejabat di instansi pemerintah. Sehingga kasus ini merebak seluruh Indonesia. Anehnya, pada kasus ini hanya membahas anggaran Negara yang amblas sejumlah 6,7 triliun. Tapi tidak membahas bagaimana sistem Indonesia yang menyebabkan APBN negara selalu dapat di korupsi oleh sebagian manusia oportunis.


Sejenak kita romantisme historisria. Korupsi di Indonesia telah merebak kala Imprealisme VOC masuk ke tanah Indonesia. Sedangkan ketika itu, pers Belanda yang menamakan dirinya sebaga “Java Courrant” berhasil menginvestigasi korupsi dalam tubuh VOC. Sehingga masyarakat Indonesia mempunyai kegelisahan dan lahirlah sebuah gagasan pembebasan nasional. Sedangkan untuk redaksi pelaksana media “Java Courrant” langsung ditangkap oleh pemerintah Belanda karena telah mengganggu stabilitas keamana di negeri jajahan.


Dengan hadirnya “Java Courrant” di Indonesia maka meretaslah anak bangsa yang mencoba untuk mendobrak hukum ala kolonial. Sebut saja Marco Kartodikromo yang menerbitkan “Reis Kraton” pada tahun 1914. Yaitu suatu media yang mengkritik korupsi di Kraton Solo. Dengan terbitnya media tersebut lahir pula kekuatan massa rakyat untuk menghapus segala feodalisme dalam kraton.


Jika melihat historis diatas berarti merebaknya korupsi di Indonesia telah ada sekian lamanya. Sedangkan bagi Marco yang hidup dalam masa itu, media anti korupsi yang sengaja didengungkan bukan bertujuan untuk menjadikan Negara ini merdeka tetapi hanya untuk menyulut gemuruh massa mendobrak sistem kolonial yang jelas merugikan rakyat Indonesia.


Maka tak ayal jika pada tahun 1925, Datuk Ibrahim-Tan Malaka- membumikan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berhasil direalisasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Jika melihat garis sejarah diatas berarti korupsi dapat dihilangkan jika masyarakat Indonesia dapat mendobrak sistem bukan penaklukkan rezim. Bukankah reformasi ‘98 adalah sebuah pelajaran berharga bagi kaum pergerakan. Sedangkan dalam implementasinya kaum pergerakan masih buta atau asing terhadap perubahan konsep hukum di Indonesia. Inilah yang biasa disebut “Taklidul a’maa (pergerakan atau massa reaksioner).


Sekali lagi, massa reaksioner inilah yang akan mengorbankan masyarakat. Sedangkan isu korupsi yang beredar hari ini merupakan settingan global yang menutup semua isu kerakyatan lainnya. Sadarkah kita?


Hukum Sehat, Rakyat Kuasa

Hal inilah yang seharusnya menjadi otokritik bagi kaum pergerakan hari ini. Jika paradigma masyarakat terkonstruksi bahwa korupsi menjadi satu hal yang menyebabkan kemiskinan struktural. Bagi penulis, kemiskinan struktural terjadi ketika sistem suatu Negara hukum telah kabur dari esensi kepentingan rakyat banyak.


Sejenak kita meraba isu kerakyatan hari ini seperti perampasan lahan petani di Pati Sukolilo, Takalar (Sulawesi), Sumsel, Cirebon dan tanah Kalimantan yang akan di jual oleh investor Jepang untuk penanaman Bakau (dibawahnya terdapat SDA batubara). Artinya hari ini Indonesia akan dijual dengan nominal yang lebih dari 6,7 triliun bahkan bisa mencapai ratusan triliun.


Belum lagi keputusan APEC pada putaran DOHA yang menikam benar hukum Indonesia sebagai Negara agraris. Yang jelas keuntungan dari putaran DOHA yaitu meliberalisasi sector pertanian, perdagangan yang lebih luas dan mematikan petani-petani lokal.


Melihat realitas diatas, secara sosiologis masyarakat belum dapat berkuasa atas haknya. Karena kekuatan hukum tidak sebagai representasi masyarakat banyak. Secara tidak langsung, melalui perspektif yuridis atau sosiologis masyarakat masih dirugikan dengan kekuatan hukum hari ini. Sebab, kekuatan hukum yang diciptakan untuk melindungi masyarakat berubah menjadi penjara bagi masyarakat sendiri.

Hal diatas nyata adanya. Hukum di Indonesia terdeteksi banyak penyakit sehingga sampai hari ini rakyat masih menjadi tamu di negerinya sendiri. Pada dasarnya hanya kekuatan rakyat secara kolektif dan bukan kepentingan dominasi ideologi global atau kepentingan golongan yang dapat mematikan segala virus dalam tubuh hukum Indonesia. Jika memang demikian, maka bukan hal yang utopis untuk mencapai hukum sehat rakyat berdaulat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar