Minggu, 20 Desember 2009

Esensi letak Keadaan dari Sebuah Keadilan

Oleh : Jessica Suryadjaja, Untar

“Dimanakah letak keadilan itu?” Tanya seorang teman kepada saya. Dia marah dan memaki ketika mengetahui bahwa seorang jaksa yang menjual narkoba (hanya) dihukum 6 bulan penjara. Oleh hakim, Sang jaksa dianggap memiliki “jasa” kepada masyarakat sehingga berhak untuk mendapatkan keringanan hukuman.

“Jasa apa? Jasa menjual narkoba?” Umpatnya marah.

Dia memaki lagi ketika membicarakan seorang nenek yang awalnya dituntut hukuman 6 bulan karena memetik buah kakao. “Apa itu pantas?”

Saya hanya bisa tertawa mendengar makian-makiannya.Teman saya hanyalah seorang biasa, orang biasa yang ada disekitar kita. Kaum masyarakat kebanyakan. Kaum awam yang tidak tahu (atau pura-pura tidak tahu) tentang keadaan moral bangsa sendiri.

Naif atau munafik?

Kita tidak akan membicarakan kepantasan dan saya tidak mau membicarakan tentang keadilan. Saya hanya akan membicarakan tentang keadaan. Meski senior yang menyuruh saya membuat artikel ini meminta saya membahas tentang keadilan, tetapi saya akan tetap membahas tentang keadaan. Karena keadaan bersifat fakta dan pasti, sedangkan keadilan bersifat subjektif. Mungkin artikel ini tidak akan dimuat karena keluar dari presepsi awal, entahlah, saya tetap akan membuat artikel ini.

Awalnya kita harus bertanya pada diri sendiri. Masih adakah orang yang benar-benar bersih di Indonesia sekarang ini? Jikalaupun ada, maka orang tersebut pasti bukanlah siapa-siapa. Sebab untuk menjadi seseorang yang dikenal kau harus mau menjadi kotor. Bahkan saya yakin, siapapun anda, yang sedang tersenyum sinis membaca tulisan saya ini, tidak mungkin tidak pernah mongotori tangan anda. Entah dengan menyontek atau memberikan uang lebih (sogokan) agar ijin mengemudi anda keluar.

Tentu saja saya tidak akan membahas tentang kemunafikan anda. Lagipula siapa saya hingga berhak menghakimi anda? Saya bukan siapa-siapa. Saya sama seperti anda.

Ketika saya menonton televisi dipagi hari, kasus korupsi muncul menghiasi pagi. Tidak tanggung-tanggung, bahkan orang nomer satu di Indonesia turun tangan langsung membela “tertuduh” korupsi.

Yah Korupsi. Saya sangat akrab dengan kata itu, begitu pula dengan anda. Dari jaman Belanda sampai sekarang, Indonesia tidak pernah lepas dari korupsi. Mulai dari upeti kecil-kecilan ketika jaman Belanda, BLBI, sampai yang sekarang sedang hot; Bank Century. Yang satu belum selesai sudah muncul ribuan kasus baru. Ibarat menebang pohon pisang. Yang satu ditebang muncul puluhan tunas baru.

Kenapa kita sebagai orang Indonesia tidak menerima nasib saja? Terima sajalah korupsi yang sudah menjadi budaya ini. Kalau perlu kita patenkan saja Korupsi sebagai salah satu budaya bangsa yang harus dilestarikan. Kita jadikan Hari anti-Korupsi Sedunia sebagai “Peringatan Hari Korupsi” serta jangan lupa kita rayakan sebagai hari libur nasional!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar