Sabtu, 18 Juli 2009

Keterasingan Masyarakat Pasca PEMILU

Oleh : Hendro Rahmandani (LPM DIDAKTIKA)


Pragmatisme masyarakat dalam berpolitik menjadi senjata ampuh bagi penguasa dan elit politik untuk mengasingkan masyarakat dari tanah airnya.


Tidak salah kalau dikatakan bahwa Negara kita seperti lahan perputaran oligarki politik setiap berlangsungnya pemilu. Bagaimana tidak, negeri yang selalu dipenuhi janji-janji kesejahteraan secara merata hanya menjadi slogan beraroma mawar bagi masyarakat yang selalu memimpikannya.

“Populis semusim”. Mungkin paradigma ini yang selalu dibentuk oleh penguasa dan elit politis . Paradigma ketergantungan demagog dari para orator partai politik yang terus mencuat setiap kampanyenya. Menambah catatan fatamorgana bagi masyarakat yang telah bosan dengan tema kerakyatan calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres) yang diusung.

Namun, bukan hal yang naïf. Jika masyarakat tetap mengikuti jalannya proses pemili capres dan cawapres yang jatuh pada tanggal 8 Juli 2009. Bagaimana tidak, jeratan ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat telah membawa kedalam jurang paragmatisme dalam menentukan sikap politiknya. Dengan begitu, saat partai politik bermain dengan many politic. Saat itu pula masyarakat terjerumus dalam permainan siasat buruk parpol.

Realitas diatas, jelas nyata adanya. Populis semusim yang digaungkan oleh parpol terhadap masyarakat dalam beberapa bulan untuk tetap memilih capres dan cawapres yang diusung telah berhasil dilakoni. Keberhasilan itu dapat dilihat ketika hasil perolehan suara dalam pemilu tahun 2009 masih banyak masyarakat yang masih percaya terhadap eksistensi parlemen. Dengan memberikan kontribusi saat pemilu legislatif atau capres dan cawapres dalam bilik suara. Sedangkan pada nyatanya, eksistensi parlemen yang mewakili jutaan ribu masyarakat Indonesia nihil adanya sampai detik ini.

Bukan hal yang tabu jika pragmatisme masyarakat dalam sikap berpolitik justru didukung dengan esensi demokrasi yang cendrung tidak jelas. Demokrasi yang seharusnya berpihak pada rakyat seakan menjadi bias. Sehingga berubah menjadi demokrasi yang ber-orientasi pada pasar. Maka yang tercipta pasca pemilu 2009 adalah kekuatan pasar menguasai hakikat demokrasi.

Tak ayal, Masyarakat saat ini hanya menjadi obyek dari keberlangsungan partai poliik. Masyarakat bukan lagi menjadi pembeli dalam konteks berpolitik. Namun, masyarakat sebatas manusia yang dibeli oleh pasar yaitu parpol. Sehingga masyarakat hanya menjadi komoditas parpol untuk memenangkan kompetisi kekuasaan. Pada akhirnya, Negara hanya menjadi pelarian modal dan rakyat terjajah dalam tanah airnya sendiri.

“Habis manis sepah dibuang”. Inilah kenyataan yang terjadi pada kita “ Rakyat Indonesia. Segala upaya untuk melancarkan ritual pesta demokrasi telah dikerahkan. Namun hasilnya hanya sebatas euforia semata. Kesejahteraan hilang dengan kepentingan segelintir manusia. Sedangkan kepastian akan jalannya konstitusi hukum sebatas menjadi hiasan dinding garuda pancasila.

Parahnya lagi, saat bangsa ini dilanda kebingungan atas nama kesejahteraan. Justru Negara berani mengeluarkan dana yang cukup besar untuk pemilu 2009. Padahal, sudah jelas bahwa sembilan kali pemilu dilakukan bangsa ini belum keluar dari jurang yaitu ketidak sejahteraan sosial. Alhasil, pada pemilu 2009, kenyataan bangsa ini tak jauh berbeda dengan pemilu sebelumnya. Yaitu biaya pendidikan, kesehatan, kesejahteraan tetap dan akan menjadi semakin mahal.

Ditambah, carut marutnya proses pemilihan umum kali ini. Misalnya, tabulasi nasional. Sebuah tabulasi yang dipastikan kesangsiannya daripada kepastian. Karena data yang di dapat dari tabulasi tersebut hanaya 60.000 TPS (Tempat Pemilihab Suara). Sedangkan target dari tabulasi nasional adalah 457.000 TPS. Artinya, pada tabulasi tersebut terdapat beberapa daerah yang terlupakan.

Kasus diatas salah satu bukti nyata jika substansi pemilu kali ini adalah nol besar. Mulai dari proses pemilihan yang terus bermasalah hingga efek dari pemilu yang belum terjawab hingga detik ini. Sejenak kita merenung, mungkin kita lupa bahwa dalam undang-undang dasar 1945 tertera pernyataan “ mencerdaskan kehidupan bangsa”. Sebenarnya, pernyataan kultural tersebut memberi pesan yang begitu dalam terhadap manusia Indonesia. Yaitu kehidupan bangsa ini harus secepatnya dicerdaskan, khususnya pencerdasan kehidupan politik.

Namun, jika melihat realitas pemilu di Indonesia yang terus menggaungkan kepemilihan bukan keterwakilan. Sebagai transisi demokrasi yang sedang berkembang. Serta kembalinya keterasingan masyarakat pasca pemilu diatas tanah airnya. Pertanyaannya, masihkah kita percaya pada segala rekayasa politik nasional saat ini? Jika meminjam pernyataan kultural dari seorang seniman, Asrul sani namanya. Beliau mengatakan bahwa kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini akan kami teruskan dengan cara kami sendiri. Bagaimana dengan anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar