Sabtu, 18 Juli 2009

Demoskratein dan Utang Negara

Depkeu Outstanding utang luar negeri, total hutang Indonesia 2004-2009 meningkat dari Rp. 1.275 triliun menjadi Rp. 1.667 triliun. Atau naik menjadi Rp. 392 triliun dengan rata-rata Rp.80 triliun/tahun.

Kratein dalam bahasa biologi berarti penyakit kekurangan hormon tiroksin yang dapat menyebabkan kekerdilan. Sedangkan demos adalah bahasa latin yang berarti rakyat. Demoskratein adalah hasil dari demokrasi yang tidak dapat berjalan baik dan benar. Implikasi demokrasi ini adalah ketakutan bagi kita yang menyadarinya. Pengkerdilan metoda demokrasi terlihat dari minimnya partisipasi rakyat secara yuridis. Partisipasi yang seyogyanya disalurkan lewat struktur lembaga konstitusional, ekonomi, dan sosio budaya mulai memudar karena akar rumput selalu disiram dengan janji manis tanpa bukti. Partisipasi rakyat hanya dibutuhkan pada saat pemilu, namun setelah itu rakyat kembali terbangun dengan keadaan yang sama, tak berubah.

Sumber pengkerdilan partisipasi masyarakat berasal dari segala lini. Misalnya, dari kinerja pemerintahan yang buruk, tidak acuhnya partai sebagai alat pengintegrasian golongan-golongan masyarakat terhadap konstituen lemah, juga bisa berasal dari dependensi pemerintah terhadap utang. Indonesia dengan semboyan reformasinya di tahun 1998 berhasil membuka kebebasan berpendapat sejak sang smilling general lengser, sehingga masalah kinerja pemerintahan yang kurang baik dan masalah kepartaian sudah mendapat perhatian dari partisipasi publik, meskipun masih lemah dan tak dianggap. Tetapi, berbicara hutang bangsa, itu berarti berbicara tentang jati diri bangsa. Tingkat utang yang terlalu tinggi sama saja membuka keran intervensi negara lain mengenai kebijakan negara. Contoh nyatanya adalah ketika GBHN Super yang dibuat Soeharto didikte oleh IMF yang menghasilkan Letter of Intent (LoI), hal ini seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi para pemimpin negara ini, pelajaran menjaga citra Indonesia dengan kemandirian ekonomi bangsa.

Kemandirin ekonomi, salah satunya ditandai dengan bebas dari utang asing, diperkirakan sulit terwujud pada bangsa ini. Padahal secara jelas, Utang pemerintah sudah mencapai level tertinggi, yakni 149,67 miliar dollar AS per Desember 2008. Hal ini secara langsung memberikan ibu pertiwi bola besi di kaki, sehingga mimpi Indonesia untuk berkompetisi di dunia hanya mimpi.

Pengamat pasar modal sekaligus Presiden Organisasi Pekerja Indonesia (OPSI) Yanuar Rizki menyatakan kepemimpinan Yudhoyono 2004-2009 yang menjalankan ekonomi kosmetik selalu berhasrat menambah utang untuk menutup pembiayaan fiskal. “SBY sangat ambisius menutup belanja fiskal dengan utang. ,” ujarnya (sumber : KAU) . Pernyataan Yanuar ini beralasan karena seperti Dikutip dari data Depkeu Outstanding utang luar negeri, total hutang Indonesia 2004-2009 meningkat dari Rp. 1.275 triliun menjadi Rp. 1.667 triliun. Atau naik menjadi Rp. 392 triliun dengan rata-rata Rp.80 triliun/tahun. Peningkatan utang ini bahkan melebihi hutang di era Soeharto dengan rata-rata Rp. 46,875/ tahun atau Rp. 1.500 triliun dalam kurun waktu 32 tahun. Ironisnya lagi, ucapan Ketua koalisi anti hutang, Dani Setiawan yang mengatakan Indonesia baru bisa memanfaatkan utang negara sebanyak 44%.

Pengkerdilan rakyat macam inilah yang sulit untuk dipantau, karena belajar dari pengalaman kampanye kemarin, manipulasi data mengenai progresitas negeri ini seakan nyata dan terasa. Untuk itulah partisipasi masyarakat yang sering dilontarkan, harus diawasi pelaksanaannya. Bukankah demokrasi itu “dari, dan, untuk rakyat”. Tapi rakyat yang mana?

Oleh : Muhamad Wahyu – LPM Orientasi, Univ. Mercu Buana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar