Senin, 20 Juli 2009

Terbunuhnya Nalar Kritis

Pada mulanya mungkin hanyalah sebuah kata, namun mengapa itu semua bisa menjadi sebuah ideologi.

Ini hal yang akhirya menjadi sebuah pertanyaan? Apa yang mengakibatkan iklan-iklan yang berserakan begitu mudah untuk ditangkap dan akhirnya kita berbondong-bondong pergi untuk mendapatkannya, tanpa pernah mempertimbangkan. Dan semuanya telah menjadi kebutuhan yang tampaknya membuat kita mati.

Dan tak ada lagi rasionalitas dalam benak kita lagi untuk mencoba mengkritisinya bahkan pola pikir kita telah terbentuk olehnya. Semua terasa semu antara alam realitas dan banyangan tersebut. akhirnya tak ada lagi pemisah yang jelas antara keinginan dan kebutuhan karena semua telah melebur. Semisal sampo sunslik yang tanpa kita sadari akhirnya membuat kita frustasi. Mereka begitu hidup dan benar-benar nyata.

Memanag saat kita membicarakan tentang simulacra yang dibicarakan oleh Yasraf Amir Pilalang dalam bukunya dengan judul Dunia Yang Dilipat. Bahwa tak ada lagi alam realitas, banyangan telah berubah menjadi kebenaran yang sesungguhnya.

Dan adakah sama yang pola yang dibentuk dengan oleh para Cawapres guna menjadikan masyarakat sebagai kelinci percobaan. Yang berujung pada pengharpan sisi lain yang mampu mereka cerna tanpa lagi mereka mengetahui siapa aku, (siapa Prabowo, Mega, SBY, JK) yang ada dia adalah pahlawan yang mampu menyelamatkan semuanya.

Pola-pola seperti ini akhir dicoba untuk dibentuk dan mereka berlomba-lomba dalam pembentuk melalui media yang akhirnya suka tak suka masyarakat dibuat untuk menerima dan suka. Semau itu telah menjadi hal yang benar-benar nyata. Mungkin sebagaian mengerti akan hal tersebut, tapi mengapa hal ini bisa terjadi.

Disini penulis hendak mencoba menelusuri mengapa semua itu bisa terjadi, ibarat benang kusut, Yang terasa sukar untuk diuraikan. Yang masih mencoba untuk menguraikan mana ujung-ujuang dari kedua benang tersebut.

Hal ini yang sengaja dibuat untuk dinikmati oleh masyarakat, dengan segala macam keadaan yang membuat persoalan-persoalan begitu membuat frustasi. Dari persoalan lapang pekerjaan yang katanya mampu menunjang ekonomi rakyat. Sehingga rakyat itu sendiri terjebak dalam lingkaran yang sengaja diciptakan. Akhirnya pemberontakan yang berujung pada kepasrahan.

Banyak hal yang mengakibatkan peristiwa tersebut terjadi. Saat ini bagaimana membuat masyarakat terjebak dalam persoalan kehidupan yang mengakibat tak mampu lagi mengahadapi persoalan yang hadir dalam kehidupan. Dengan segudang persoalan.yang tak kunjung usai Dan akhirnya semua serba kosong tak lagi mengerti apa yang harus dilakukan dan kini rakya hanya mencoba berharap kepada yang mampu memberikan sebuah harapan tanpa pernah berpikir panjang apakah harapan itu akan menjadi realita atau hanya sebatas penghilang dahaga yang semu.

Tak ada lagi tempat untuk berlindung. Dan apalagi diperparah dengan intelektual yang tak lagi berjalan sesuai garis koridor yang telah ditentukan. Seperti apa yang telah dibahas oleh Umberto Eco seorang pemikir dari Itali yang menanyakan dalam bukunya yang berjudul Lima Seripihan Moral. Dalam buku tersebut salah satunya ia mengomentari tentang intelektual.

Mungkin bukan hanya itu saja. Bahwa orang yang mampu menyuarakan malah terjabak ikut dalam lingkaran yang dibuat oleh para elit politik. Dan saat itulah para elit tertawa dan hadir melalu bahasa media untuk memberikan penyegaran melalui gaya penuh dengan karismatik mencoba memberikan solusi yang membuat masyarakat terbuai.

Dengan kenyakinan yang telah diciptakan, merekapun akhirnya berbondong-bondong untuk berkeyakinan yang tak bisa dilepaskan dalam kehidupan sehari-hari. Kenyakinan dari buah kebenaran semu. Dengan tawaran slogan-slogan yang mereka berikan. “ Ekonomi Kerakyatan” siapa yang tau tentang makna tersebut. akhirnya kata-kata yang memaikai lebel “Rakyat” masih merupakan jurus jitu untuk menarik simpati rakyat.

Dan akhirnya semua telah beralih dalam bahasa ideology, yang dalam bahasa Marx ideology seperti agama yang kita menerima begitu saja. Daya kritis masyarakat yang kini tertutup oleh polesahan-polesan elit politik dengan para awak. Dan pada tahap ini jangan pernah bertanya tentang hati nurani, karena hati nurani telah menjadi bumbu penyedap saja.

Dalam pilihan yang dilakukan oleh masyarakat guna memilih pemimpin dengan masing idola sehingga menampilakannya dalam manusia super tanpa membuat mencoba mengindetivikasikan hanya sekedar kata siapa dia? Yang semu telah menjadi begitu nyata dalam kehidupan sehari-hari. Sudah Pandaikah masyarakat kita untuk melihat itu semua???

BY : LPM Institut - UIN Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar